May 10, 2013

Ini God Spot, Tempat Allah di Otak Kita

by Leonardo Rimba Kedua (Notes) on Tuesday, May 7, 2013 at 6:48pm

"Mas Joko, tolong bimbing aku untuk bagaimana mulai meditasi dan mencapai sadar dalam kesadaran itu karena aku sulit untuk berkonsentrasi."

Oh (kaget).

Joko Tingtong suka kaget memperoleh pertanyaan yg menurutnya bukan pertanyaan. Sudah jelas sejelas-jelasnya, kenapa ditanyakan lagi? Sekarang juga anda sadar dalam keadaan sadar. Meditasi cuma merasakan hal itu. Bahasa Indonesianya mengheningkan cipta. Mengheningkan cipta, mulai! Yg meditasi itu pikiran, dan bukan raga. Raga bisa pakai postur apapun. Mengheningkan cipta artinya mendiamkan pikiran. Caranya bukan bilang hus hus... melainkan konsen di satu titik.

Kita enjoy piikiran datang dan pergi. Kita lihat saja, tetapi fokusnya tetap di kesadaran kita dan bukan di pikiran itu. Rasakan saja kesadaran kita yg berada persis di tengah batok kepala.

Dan siapa bilang kalau meditasi tidak boleh ada kelebatan pikiran di kepala? Kelebatan tetap ada, boleh karena kita tidak bisa hilangkan dengan cara apapun. Di lain pihak, kita juga tahu bahwa kita adalah kesadaran yg melihat itu kelebatan datang dan pergi. Lalu gelombang otak kita akan turun dan turun terus sampai mencapai gelombang otak tidur lelap, tapi tetap saja meditasi atau mengheningkan cipta.

Jangan tidur! Caranya dengan selalu membuka mata anda sedikit. Kalau mata ditutup semua, anda bisa tidur lelap di gelombang otak rendah. Tetapi, kalau mata anda terbuka sedikit, anda akan tegang. Rasanya kencang di jidat. Dan itulah yg saya namakan meditasi di mata ketiga.

Kalau anda bisa, lakukanlah meditasi dengan mata sedikit terbuka. Mata terbuka sedikit, ujungnya saja. Fokus mata tetap, ke arah atas, 45 derajat melihat ke arah atas dengan bola mata kita. Dalam posisi tu orang akan melihat seolah-olah mata kita terbalik. Walaupun kelihatan seram, itulah caranya supaya kita tidak tertidur waktu meditasi. Saya sendiri tidak bisa meditasi dengan mata terpejam. Saya harus selalu buka sedikit. Ini teknik kuno, karena mereka di jaman dulu juga tahu bahwa kalau mata terpejam total kita akan mudah tertidur, makanya mereka membuka matanya sedikit. Sedikit saja, di ujungnya.

Tidak perlu pakai buku renungan meditasi. Meditasi adalah meditasi, bukan merenung. Menurut saya segala buku renungan meditasi sama sekali tidak ada gunanya. Dan segala macam renungan begituan cuma akan menjadi jebakan saja. Bukan membantu orang agar semakin naik tingkat, melainkan menjerumuskan orang ke dalam lubang penipuan diri sendiri. Itu pengalaman saya dari mengamati praktek perenungan di kalangan agama dan orang spiritual. Mereka pikir mereka tercerahkan. Pedahal terbutakan.

Memang terasa kontradiktif, tetapi itulah realitanya.

Tentang manfaat meditasi seperti apa haruslah anda temukan sendiri. Apa yg anda rasakan sebagai manfaatnya, itulah manfaat meditasi bagi anda. Manfaat bagi saya belum tentu manfaat bagi anda karena ini termasuk hal yg subyektif juga. Dan tidak perlu pakai perenungan segala macam.

Kita bukan tukang merenung untuk menemukan kata hati.

Kata hati dilihat saja secara obyektif. Apa benar itu kata hati? Kalaupun benar, itu bukan intuisi. Hati itu sumber segala macam emosi, termasuk cinta, iri dengki dan amarah. Pedahal emosi seperti itu datang dan pergi begitu saja.

Meditasi bukan merenung, meditasi tidak memerlukan renungan apapun. Yg pakai renungan adalah orang yg masih memegang belief system tentang baik dan buruk. Intuisinya tidak jalan sehingga mengandalkan renungan. Pedahal baik dan buruk relatif dan kita tidak perlu merenungkannya. Cukup meditasi saja, dan kita akan langsung tahu sendiri. Namanya intuisi.

Dualitas selalu ada selama kita masih berbentuk manusia dengan tubuh fisik. Ada rahasianya juga bagaimana supaya bisa oke, yaitu pegang atas dan bawah. Pegang kiri dan kanan. Semuanya dipegang dalam saat bersamaan. Kita cuma bisa stabil kalau bisa memegang polaritas itu. Kultivasi spiritualitas memang mudah sekali kalau dijalani sendiri, tetapi juga complicated kalau kita mau berteori saja. Dibutuhkan keahlian tersendiri, pengalaman pribadi jatuh bangun. Tidak semudah seperti dituliskan di buku petunjuk.

Ada yg tidak pernah bisa dituliskan dan harus dialami sendiri.

Di tradisi tertentu, teknik saya bisa dibilang raja yoga, yoga of the mind. Menurut saya inilah teknik yg dipakai oleh Jiddu Krishnamurti, makanya dia tidak pakai belief system apapun. Lawannya adalah semua jenis meditasi keagamaan atau spiritual yg mengajarkan untuk fokus di dada. Orang yg meditasinya fokus di dada akan penuh dengan belief system. Ada yg perlu dipertahankan walaupun berupa mitos yg tidak jelas kebenarannya. Mereka takut untuk naik ke atas, ke cakra mata ketiga.

Cakra mata ketiga yg saya maksud adalah semua titik yg letaknya di tengah dan bagian atas kepala kita. Termasuk disini yg disebut cakra mahkota. Kalau kita fokus di tengah batok kepala atau di puncak kepala kita, maka kita sudah memakai cakra mata ketiga. Dan segala macam belief system kita yg tidak realistis otomatis akan rontok dengan sendirinya.

Sedikit demi sedikit kita akan mengalami transformasi.

Itulah transformasi yg natural, tanpa dipaksakan. Transformasi diri tidak lain dan tidak bukan merupakan proses rontoknya belief system lama. Sebaliknya, orang yg konsentrasi di dada tidak bisa bertransformasi secara alamiah karena mereka terjebak di belief system. Selama masih konsentrasi di dada, mereka tidak bisa melepaskan diri dari belief system yg menyesakkan itu. Banyak agama dan aliran spiritual masih terjebak. Jalan di tempat, stagnant, karena mereka mengajarkan konsentrasi di dada.

Tapi biarin aja, urusan orang!

Spiritual adalah bagian dari diri kita yg berbentuk spirit. Spirit artinya ruh, tidak terlihat. Pikiran kita spirit, perasaan kita juga. Pikiran dan perasaan tidak terlihat, makanya termasuk bagian dari spiritualitas. Spirit tidak bisa terlihat oleh mata fisik melainkan oleh yg spirit juga.

Alam semesta ada yg fisik dan ada yg non fisik. Panca indra digunakan untuk mengenal yg fisik. Tetapi ada pula alam semesta non fisik seperti yg kita alami ketika kita tidur. Kita merasa jalan kesana kemari, pedahal kita tidur. Itu alam semesta non fisik, dan adanya di dalam pikiran kita saja. Yg jelas, melek ataupun tidur, kita tetap saja sadar. Tanpa ada kesadaran, maka segalanya tidak akan ada. Alam semesta ini tidak ada kalau kesadaran kita tidak ada. Anda tidak ada kalau kesadaran saya tidak ada. Dan saya tidak ada kalau kesadaran anda tidak ada.

Segalanya kembali kepada kesadaran. Bahasa Inggrisnya consciousness.

Sesuatu yg ada karena memang ada, tanpa perlu kita berteori datangnya dari mana dan mau pergi kemana. Kalau diteorikan, akan menjadi agama. Dan itu tidak perlu karena tanpa teori agama kita juga tetap saja hidup sebagai manusia yg sadar. Tanpa perlu berteori tentang Allah, kesadaran kita memang ada. Disini dan saat ini. Dan itulah pengertian inti dari kultivasi spiritualitas di dalam semua tradisi.

Cuma untuk sadar bahwa kita sadar. Aware of being aware.

Tidak semua orang yg mengaku spiritual frekwensinya sama. Saya pakai frekwensi yg paling tinggi, sehingga mereka yg frekwensinya di tengah dan bawah akan gelagapan. Mereka punya pegangan. Pegangan itu adalah kemelekatan. Mereka melekat kepada guru, nabi, kitab suci, syariat, agama, iman atau apapun namanya. Itu frekwensi menengah dan bawah. Meditasinya di dada atau cakra jantung.

Menekan ke bawah adalah istilah saya untuk orang yg meditasinya di cakra jantung atau di dada. Frekwensi saya lebih tinggi lagi karena saya fokus di tengah batok kepala, di cakra mata ketiga. Mungkin buat mereka saya akan tampil menakutkan karena saya bisa merontokkan belief system mereka. Frekwensi yg atas akan bisa merontokkan frekwensi yg lebih bawah. Saya pakai frekwensi yg paling tinggi, frekwensi menjadi diri sendiri.

Sudah cukup, kata Joko. Diambilnya sebuah bungkusan lalu dibukanya di depan komputer.

Seorang teman di kota Semarang mengirimkan Joko naskah buku yg akan segera diterbitkan, berjudul Keluar Dari Penjara Dogma: Bertamasya Melihat Tuhan Yang Dualisme, oleh Visnu Vardana. Isinya tentang pembuktian oleh penulisnya bahwa konsep kita tentang Tuhan ternyata tidak sesuai dengan apa yg dimuat di sumber aslinya, yaitu Alkitab dan Al Quran. Calon buku ini berbicara tentang konsep Tuhan yg menurutnya bersifat dualistis. Dualistis artinya bersifat mendua. Tuhan bisa baik dan bisa jahat. Bisa pemarah dan bisa pengampun. Bisa sopan dan bisa kurang ajar.

Joko membalik-balik buku itu, sama sekali tidak merasa heran.

Allah yg sering disebut Tuhan oleh orang Indonesia tidak semata-mata maha baik seperti sering disohorkan oleh orang beragama sampai sekarang, tetapi maha jahat juga. Dan contohnya bisa kita lihat di dalam kedua kitab yg disucikan itu, di dalam Alkitab dan Al Quran. Itulah Allah dalam konsepsi Ibrahimik, yaitu agama-agama yg berasal dari Timur Tengah: Yahudi, Nasrani dan Islam.

Kalau kita baca sendiri kitab-kitab yg disucikan oleh ketiga agama ini, kita akan bisa langsung lihat bahwa memang Allah tidak semata-mata maha baik, melainkan maha jahat juga. Allah tidak hanya memberkati manusia, melainkan mengutuknya pula. Allah bahkan memerintahkan manusia yg dipilihnya untuk membasmi manusia lain hanya karena manusia lain itu tidak terpilih. Bangsa Ibrani yg dipimpin oleh Musa merupakan bangsa terpilih, dan bangsa-bangsa penduduk asli Palestina bukan. Maka kitab suci orang Yahudi marak dengan pemaparan dan penjelasan panjang lebar mengapa orang Ibrani yg terpilih itu harus membinasakan penduduk asli Palestina yg konon menyembah berhala.

Orang Ibrani menyembah Allah yg mereka namakan Tuhan (dituliskan sebagai JHVH dan dibaca sebagai Tuhan di bahasa Indonesia), dan penduduk asli Palestina menyembah berhala.

Pedahal Tuhan juga berhala, yaitu Allah yg disembah oleh orang Ibrani. Berhala disini diartikan sebagai sesuatu yg disembah. Bisa dibuatkan simbol berupa patung, bisa juga tanpa patung.

Lalu dogma itu apa?

Dogma adalah ajaran yg tidak boleh dipertanyakan. Ajaran yg diharamkan untuk diganggu-gugat dengan alasan bahwa ajaran itu diberikan oleh Allah sendiri di dalam kitab suci. Karena dianggap suci, maka apa yg tertulis di dalam kitab itu dianggap sebagai ucapan Allah.

Oh (agnostisme)

Sebenarnya saya juga tidak terlalu yakin saya agnostik, kata Joko Tingtong. Mungkin kata agnostik bisa juga diterapkan kepada para pembaharu seperti Siddharta Gautama dan Yesus yg jelas tidak percaya kepada belief system sebelumnya. Mereka membawa pengertian baru, tidak percaya kepada konsep-konsep sebelumnya yg mereka anggap telah korup. Siddharta Gautama dan Yesus juga mempraktekkan meditasi. Menurut Joko, meditasi yg dipraktekkannya mirip dengan mereka. Itu cuma pendapat, tentu saja, karena Joko tidak lihat langsung. Joko cuma merasa. Dia berpendapat agnostik artinya mengakui bahwa kesadaran kita memang ada. Kita ada karena kita ada. Itu saja. Sederhana sekali tanpa harus berteori tentang segala macam mitos penciptaan.

Sama seperti Siddharta Gautama dan Yesus yg tidak pernah berteori tentang penciptaan.

Dan kultivasinya melalui meditasi yg juga sederhana sekali kalau kita mau membuang segala macam belief system harus duduk manis seperti patung Buddha.

Yg penting frekwensi gelombang otak, dan bukan postur tubuh.

Sebagai manusia post modern yg bergizi cukup, kita semua sudah terbuka cakranya, jadi tidak perlu visualisasi dari cakra dasar sampai cakra mahkota, dan dari sana membayangkan ada hujan prana. Itu tidak perlu. Cuma belief system belaka yg tidak akan berpengaruh kalau kita tidak pakai. Kita bisa langsung ke cakra mata ketiga, konsentrasi di titik antara kedua alis mata dengan mata setengah terpejam. Bisa juga dengan cara fokuskan kesadaran di tengah batok kepala. Bisa juga di puncak kepala. Segala titik yg adanya di sebelah atas mata otomatis akan jatuh ke cakra mata ketiga. Atau ke kelenjar pineal, yaitu counterpart cakra mata ketiga secara fisik, yg letaknya di tengah batok kepala kita. Kita bahkan bisa bilang bahwa kelenjar pineal adalah cakra mata ketiga kita. Cuma ini yg fisik. Yg non fisik adanya di tubuh etherik kita.

Kita cukup pegang tubuh fisik saja, karena yg etherik otomatis akan mengikuti.

Tentang lidah juga termasuk belief system, bisa dipakai, bisa juga tidak. Yg penting mata kita mengarah ke atas dengan sudut 45 derajat. Mungkin ada sebagian teman yg tidak bisa meditasi dengan mata setengah terbuka. Mungkin juga karena belum pernah dicoba. Saran Joko, coba saja. Ada perbedaan besar antara meditasi dengan mata total tertutup dan meditasi dengan mata setengah tertutup. Yg lebih bagus, meditasi dengan mata setengah tertutup dan fokus melihat ke atas. Bisa melihat ke titik di antara kedua alis mata, bisa juga fokus ke tengah batok kepala. Bisa juga fokus persis di atas kepala.

Bisa juga lebih atas lagi, yaitu yg disebut cakra gerbang alam semesta. Letaknya persis di atas kepala kita, sepanjang tangan kita kalau diangkat ke atas.

Menurut pengalaman Joko, semua cakra di atas cakra mata ketiga otomatis akan jatuh di cakra mata ketiga juga, yg tidak lain dan tidak bukan merupakan kelenjar pineal.

Ini God Spot, tempat Allah di otak kita.

Joko melanjutkan menulis. Ada hormon melatonin yg diproduksi oleh kelenjar pineal, dan akan semakin banyak diproduksi ketika anda meditasi di cakra mata ketiga, terutama ketika anda meditasi di tempat gelap. Efeknya adalah rasa tenang. Secara alamiah hormon ini diproduksi ketika anda tidur. Ketika anda meditasi di tempat gelap, aktifitas kelenjar pineal juga meningkat, hormon melatonin semakin banyak dihasilkan, dan anda akan merasa semakin tenang. Dan itu bisa dilakukan tanpa melalui ritual keagamaan. Anda cukup meditasi saja. Asalkan meditasinya di kelenjar pineal yg sering saya sebut sebagai mata ketiga.

Sayangnya kebanyakan ritual keagamaan tidak secara eksplisit mengajarkan hal ini, mungkin juga praktisinya tidak mengerti. Yg mereka tekankan dalam ritual keagamaan adalah belief system  dan bukan teknik. Akibatnya mereka mengikuti ritual dengan fokus di dada atau cakra jantung. Bukan melatonin yg dihasilkan melainkan rasa terselesaikannya transaksi. Seperti bertransaksi dengan Allah dalam menjalankan ibadah. Ibadah selesai dilakukan, dan itu berarti sekarang tugas Allah untuk memberikan rizki, dsb.

Sebagian ilmuwan menyimpulkan bahwa perasaan yg ditimbulkan oleh melatonin juga semu. Cuma perasaan saja. Memang cuma perasaan saja, tetapi yg jelas kita tidak akan jatuh terpuruk kepada penipuan diri sendiri ketika melatonin berlimpah-ruah. Kita juga akan spontan saja tanpa merasa takut ini dan takut itu. Sedangkan mereka yg menggunakan cara ritual jelas banyak takutnya, banyak pantangannya, banyak haramnya. Mereka berpamrih. Tanpa ada pamrih, ritual tidak bisa dijalankan. Ritual itu transaksi yg dikonsepkan oleh manusia, biasanya ditemukan di dalam agama dan tradisi.

Sedangkan meditasi di mata ketiga bukanlah transaksi. Itu teknik yg manfaatnya juga ditentukan oleh orang per orang. Ditentukan oleh praktisinya sendiri ingin memperoleh manfaat apa. Bisa ketenangan semata, bisa intuisi, bisa spontanitas, bisa transformasi diri. Dan menurut Joko itu lebih jujur karena tidak memaksakan belief system tertentu yg semata-mata merupakan rekayasa. Belief system seperti kepercayaan keagamaan dan tradisi itu semuanya rekayasa, dibuat bukan berdasarkan fakta melainkan mitos.

Mitos itu legenda, artinya dipercaya seolah-olah benar. Pedahal belum tentu benar.

No comments:

Post a Comment