Kediri
terkenal dengan emasnya. Joko bilang itu bukan emas, tetapi perunggu.
Memang dilapisi emas dengan teknik dari Cina. Bahan dasarnya perunggu,
tetapi dilapis emas, dan digunakan oleh para punggawa. Waktu ke Kediri,
Joko dapat sepasang gelang punggawa dari masa Kediri. Utuh, tapi
dilapisi karat sampai total berwarna hijau. Diangkat dari Kali Brantas.
Joko bersihkan dan dicek oleh temannya, seorang tukang emas. Memang
benar, gelang perunggu itu dilapisi emas. Makanya sampai sekarang masih
beredar mitos tentang emas Kediri. Konon kalau emas Kediri bisa
terangkat, semua hutang-hutang Indonesia akan bisa terbayar lunas.
Sayangnya bukan emas asli. Cuma perunggu yg dilapisi emas.
Kediri
satu jaman dengan Dinasti Song di Cina, sekitar 1,000 tahun lalu.
Akhir-akhir ini banyak ditemukan kapal karam yg mengangkut keramik Cina
dari masa itu. Ditemukan di lepas pantai Utara Pulau Jawa; pelabuhan
Cirebon, Jepara dan Tuban. Yg mau dilelang oleh pemerintah RI beberapa
tahun lalu adalah keramik Dinasti Song. Satu jaman dengan Kediri. Begitu
banyak keramik yg diangkut dalam satu kapal karam itu saja. Bisa
dibayangkan bagaimana mundar-mandirnya perdagangan Jawa dengan Cina saat
itu. Ini masa yg remang-remang, kita cuma bisa rekonstruksi saja,
karena tidak ada catatannya. Yg ada cuma bukti material, berupa kapal
karam dan, tentu saja, di gen. Di Malaysia baru-baru ini dicoba periksa
gen orang-orang yg datang dari Jawa dan menetap disana. Ditemukan,
ternyata gen mereka yg datang dari Jawa banyak kemiripan dengan gen
orang-orang yg bertempat tinggal di daratan Cina. Itu bukti secara
saintifik menggunakan teknologi paling mutakhir.
Jaman
Dinasti Tang dan Song di Cina adalah masa keemasan perdagangan
internasional di masa lalu. Cina berdagang dengan Timur Tengah, Persia,
India, Korea, Jepang, dan Jawa. Waktu masa Majapahit, Cina sudah
berganti dinasti. Digantikan dengan Dinasti Yuan, yaitu orang Mongol, yg
lebih tertarik dengan penaklukan wilayah. Tercatat di sejarah dunia,
Dinasti Yuan di Cina, yg bahkan kerabatnya bisa menggulung khalifah di
Baghdad, ternyata tidak bisa menaklukan Jepang dan Jawa.
Kekuasaan
Mongol di Cina tidak lama, masa keemasan dan pudarnya Majapahit sejaman
dengan Dinasti Ming di Cina. Ini dinasti yg tercerahkan. Cina
mengirimkan armada besar-besaran untuk membuka hubungan perdagangan
dengan seluruh dunia, bahkan sampai Afrika. Laksamana Cheng Ho bahkan
sampai di-asosiasikan dengan Sam Po Kong. Pedahal seorang Cina Muslim.
Dan bisa dipastikan golongan partikelir dari Cina tak habis-habisnya
mengunjungi Jawa sejak saat itu, mungkin lebih intens. Tapi pedagang
Cina cenderung pulang balik, atau menikah dengan perempuan lokal. Tidak
ada upaya monopoli seperti orang-orang Barat. Joko merasa tidak
terhitung pendatang dari Cina menetap di Jawa selama kurun waktu 1,000
tahun terakhir. Turun temurun memperkuat gen penduduk Jawa. Dan bisa
dipastikan juga, kurang lebih, bahwa pendatang dari Cina kemungkinan
besar menikah dengan anak perempuan penguasa lokal. Dan di ibukota
Majapahit memang bertempat tinggal banyak pendatang dari Cina. Beragama
Islam, dan beragama lain juga. Mungkin sampai berjumlah ribuan orang.
Mereka itu kemana ketika Trowulan diserang? Tentu saja tetap di tempat,
tidak bisa pulang. Mau pulang kemana lagi? Dan keturunannya adalah anda
yg bertempat tinggal di Jawa Timur. Dan pastinya sampai ke Bali dan
Madura juga. Madura tidak kurang pengaruh Cinanya dibandingkan dengan
Bali. Kalau anda lihat ukiran-ukiran asli Madura, anda akan lihat
warna-warninya. Warna-warni Cina. Dan, yg mungkin menentukan asimilasi
disini adalah agama. Cina memang etnosentris, dan bahkan cenderung
rasis, merasa diri paling berbudaya satu dunia. Itu Cina yg asli. Tetapi
kalau sudah menjadi Muslim tidak begitu. Dalam hal ini Islam bisa
dibilang menjadi sesuatu yg baru, melebarkan cara pandang etnosentris
Cina yg kelewatan itu.
Yg juga menarik
adalah Gus Dur. Bagaimana Gus Dur bisa tahu bahwa dia keturunan Cina
dari suku Hakka? Bisa dipastikan bahwa keluarganya memegang silsilah.
Semua kecuali satu orang Wali Sanga adalah keturunan Cina. Kalau Wali
Sanga keturunan Cina, maka pendiri pesantren-pesantren adalah keturunan
Cina juga. Yg juga sama sekali tidak masalah. Ini penetrasi modernitas
yg paling mutakhir saat itu. Etnik Cina memang lebih punya akses ke
informasi saat itu, karena bisa baca tulis. Menjadi katalis untuk
memodernkan Jawa. Tapi, ada juga tapinya. Satu sisi dari etnik Cina
menjadi para wali dan mendirikan pesantren. Mungkin ini yg sekarang
disebut golongan putihan. Satu sisi lagi masuk keraton dan menjadi
pujangga istana. Harusnya disebut abangan. Dan sekarang dikenal sebagai
Kejawen.
(Joko T.)
No comments:
Post a Comment