Ahmad Yulden Erwin:
Ini kisah nyata saat SBY
mengunjungi India dan berdialog dengan mahasiswa Indonesia di India,
pada tanggal 23 November 2010, dikutip dari majalah Gatra.:
Tylla
Subijantoro, mahasiswi S-2 ilmu hukum Universitas New Delhi, India,
tiba-tiba mencuri perhatian. Pertanyaan Tylla kepada Presiden Yudhoyono
konon membuat SBY marah. "Saat berdialog dengan masyarakat Indonesia
di India, ada warga yang sejak mulai bicara sampai selesai
menjelek-jelekkan negeri kita dan memuji luar negeri. Saya
menyesalkan," kata SBY di Tanah Air.
Apa yang ditanyakan
Tylla kepada SBY pada pertemuan 23 November lalu itu? Berikut petikan
perbincangan Tylla dengan Basfin Siregar dari Gatra:
Benarkah Anda menjelek-jelekkan bangsa sendiri?
Saya
tidak terima dibilang menjelek-jelekkan bangsa! Yang saya
jelek-jelekkan itu pemerintah. Saya membandingkan kebijakan Pemerintah
India dengan SBY. Saya lihat Pemerintah India memberi subsidi gede
banget untuk pendidikan. Adalah salah pemerintah kalau pendidikan di
Indonesia makin nggak terjangkau!
Berapa uang kuliah Anda di India?
Untuk
program S-2 dua tahun, saya cuma bayar US$ 600, sekitar Rp 6 juta. Itu
sudah all-in, sudah admission fee dan tuition fee. Tinggal mikir biaya
hidup. Dan biaya hidup di Delhi sama dengan di Jakarta. Uang US$ 600
itu pun karena saya foreigner yang bayar lebih mahal. Soalnya, duit
saya itu dipakai buat subsidi warga India asli. Kalau orang India yang
kuliah, setahun bayarnya cuma 700 rupee, sekitar Rp 40.000.
Bagaimana dibandingkan dengan biaya di Indonesia?
Tahun lalu, saya mendaftar program notariat. Untuk semester pertama saja habis Rp 50 juta.
Anda kaget ketika SBY marah?
Sebenarnya
SBY marah bukan karena pertanyaan saya. Melainkan karena waktu SBY
ngasih penjelasan, eh, saya malah bisik-bisik ke teman. Saya bilang,
''Ah, SBY mau ngomong apa, nyatanya anaknya disekolahin ke luar negeri
juga. Berarti dia setuju pendidikan di luar negeri bagus.''
Reaksi SBY bagaimana?
SBY
sepertinya menganggap saya anak yang kaget. Baru sekali sekolah di
luar negeri, kok, sudah sombong banget. Soalnya, SBY bilang bahwa dia
sudah sembilan kali sekolah di luar negeri, dan pendidikan di Indonesia
nggak jelek. Tapi kenyataannya, di ranking dunia, pendidikan Indonesia
kan nggak masuk?
Ketika dibentak, reaksi Anda sendiri bagaimana?
Saya
senyum aja, terus diem nunduk-nunduk, manggut-manggut minta maaf.
Terus saya perhatikan lagi. Tapi saya bisik ke teman itu cuma beberapa
detik aja kok. Sepanjang sebelumnya saya juga memperhatikan penjelasan
SBY.
Seperti apa jawaban SBY waktu menjawab pertanyaan Anda?
Ya
pokoknya pemerintah sudah bekerja, bahwa pendidikan di Indonesia tidak
jelek. Pendidikan di luar negeri ada yang bagus, tapi ada juga yang
lebih jelek dibanding di Indonesia. Begitu. Terus waktu menjawab soal
buku-buku murah, SBY bilang kalau pemerintah juga sudah menyiapkan
content (materi) untuk buku-buku SD, bagaimana agar bisa kepake untuk
sekian generasi. Teknis begitu. Itu kan nggak nyambung dengan apa yang
saya sampaikan.
Seperti apa subsidi pendidikan di India?
Di
sini, buku murah luar biasa, bahkan buku-buku impor karena pemerintah
memberi subsidi kertas! Selain itu pemerintah juga bikin kerja sama
dengan penerbit-penerbit gede kayak Penguin Books agar buku-buku mereka
bisa dicetak di India, jadi bisa dijual lebih murah. Buku-buku kuliah
saya, kalau dikonversi ke rupiah, paling mahal cuma Rp 10.000. Kalau di
Indonesia, saya bisa keluar sampai Rp 2,5 juta untuk beli buku saja.
Dan karena subsidi kertas itu, harga langganan koran juga murah. Saya
itu langganan satu koran, satu majalah berita semacam Gatra, dan satu
majalah wanita. Nah, untuk langganan tiga media itu, sebulannya saya
cuma bayar 110 rupee, atau sekitar Rp 22.000. Selain itu di India,
pelajar dapat fasilitas kartu abonemen yang harganya cuma 50 rupee, atau
sekitar Rp 10.000, yang berlaku selama empat bulan. Dengan kartu pas
itu, selama empat bulan kita bisa gratis naik bis pemerintah jurusan apa
aja. Mau keliling-keliling Delhi juga boleh. Meski bisnya bobrok, tapi
nyaman. Berhentinya juga cuma di halte. Kartu abonemen itu selain
untuk pelajar, juga dikasih untuk pegawai negeri, tentara, orang jompo
dan physically disabled (orang cacat). Itu untuk transportasi.
Tidak takut dianggap melebih-lebihkan India?
Lho,
justru karena saya cinta bangsa Indonesia, saya ingin pemerintah
belajar kepada India. Orang Indonesia itu pintar-pintar. Tapi, soalnya,
pemerintah tidak bisa memfasilitasi pendidikan murah. Para insinyur di
India mampu bersaing untuk masuk di Microsoft. Sedangkan di Indonesia
hanya beberapa orang saja yang beruntung. Maka tolonglah pemerintah
bikin agar pendidikan itu affordable.
Tapi, pendidikan di Indonesia kan ada juga bagusnya?
Kalau
mau jujur, infrastrukturnya lebih bagus. Di kampus sudah ada lift,
whiteboard, pakai OHP. Kalau di sini enggak. Naik dari lantai I ke
lantai IV masih manual, masih pakai kapur tulis, terus nggak ada AC.
Tapi, kalau kualitas content-nya, kita kurang.
Kalau pengajarnya bagaimana?
Kalau
di India enaknya, dosen-dosen itu bisa dihubungi kapan saja. Kayak
Amartya Sen, peraih nobel, kalau mahasiswanya minta diskusi private
session, masih dilayanin. Nggak susah. Bahkan presidennya sendiri,
Abdul Kalam, dia juga mengajar, dan masih bisa ditelepon! Saya pernah
bareng mahasiswanya makan malam bareng Abdul Kalam. Saya lihat Abdul
Kalam itu dikritik mahasiswanya yang orang India, ditunjuk-tunjuk gitu,
dia nggak marah kok. Masih santai aja.
Setelah pertemuan dengan SBY itu, apakah Anda ditegur, misalnya oleh orang KBRI?
Ah,
nggak. Orang KBRI itu asyik-asyik. Yang ribut itu justru pegawai
negeri (dari Indonesia) yang tugas belajar ke India. Mereka pada marah.
Dibilangnya saya itu anak itik yang baru keluar dari induknya, kaget.
Padahal saya kan juga bukan baru pertama kali ke luar negeri. Sebelumnya
saya kan juga sempat ikut summer course atau homestay gitu. Tapi kan
nggak kompatibel kalau membandingkan Indonesia dengan negara-negara
maju. Makanya dibandingin dengan India.
No comments:
Post a Comment