SUMBER: http://www.wpi.kkp.go.id/epaper/wpi0610/pages/wpi_juni10.pdf
WPI Edisi Maret 2010, No. 79
WARTA PASAR IKAN
DIREKTORAT PEMASARAN DALAM NEGERI
DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN
KEMENTRIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
BENARKAH MAMIN BEBAS PPN?
“Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah: Kelompok barang seperti makanan
dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, meliputi
makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering”
Rangkaian kalimat diatas
dikutip dan telah tercantum
dalam pasal 4a ayat 2 huruf
c UU 42 tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, yang telah disahkan dan
diundangkan pada 15 Oktober 2009
serta mulai diberlakukan sejak
1 April 2010. Dengan demikian,
pemberlakuan UU tersebut akan
berdampak positif dan menjadi
kabar baik bagi para pelaku usaha
dengan makanan dan minuman
(mamin) maupun konsumen yang
cenderung gemar berbelanja mamin
di luar rumah.
Hingga awal tahun2010,
semua produk mamin yang tersaji
di pusat-pusat tempat makan
dikenakan PPN sebesar 10% dari
nilai barang yang dikonsumsi.
Hal ini tentunya menjadi beban
tersendiri bagi konsumen karena
semakin banyak dan mahal harga
barang yang dikonsumsi maka
akan semakin besar pula PPN yang
harus ditanggung. Namun sejak
diberlakukannya UU 42 tahun 2009
pasal 4a ayat 2 huruf c tersebut,
konsumen tidak perlu khawatir
dan keberatan dengan kewajiban
terhadap pembayaran PPN
PPN dan PB1 (PHR)
Nah, saat ini muncul pertanyaan,
“jika memang UU tersebut
sudah diberlakukan, mengapa di
sebagian besar pusat-pusat tempat
makan masih membebankan pembayaran
PPN kepada konsumen?”.
Mungkin selama ini telah terjadi
kesalahpahaman dan ketidaktahuan
konsumen terhadap pengenaan
pajak yang telah dibebankan.
Sebenarnya pajak yang dikenakan
tersebut bukanlah PPN melainkan
PB1 (Pajak Pembangunan Satu)
atau sekarang disebut PHR (Pajak
Hotel dan Restoran). Pajak tersebut
telah diatur dalam Perda dan diberlakukan
kepada para pengusaha
jasa mamin seperti hotel, restoran,
usaha jasa boga dan katering yang
pembayarannya dibebankan kepada
konsumen pemakainya. Sebagai
contoh, besarnya PBI di Jakarta
adalah 10% sehingga masyarakat
umum sering salah mengartikan
bahwa yang dikenakan pajak 10%
adalah PPN.
Pemberlakuan UU Pembebasan
PPN mamin sebenarnya untuk
mempertegas bahwa semua usaha
yang berkaitan dengan mamin
sudah terbebas dari pungutan pajak
pertambahan nilai (PPN). Jika sampai
saat ini masih ada pengenaan
pajak, mungkin saja sebagai kewajiban
pelaku usaha terkait terhadap
Perda yang masih berlaku.
Bisnis Mamin Menjanjikan
Saat ini, memiliki bisnis usaha
yang berkaitan dengan makanan
dan minuman menjadi peluang
usaha yang sangat menjanjikan dan
berprospek cerah. Saat ini, konsumen
cenderung memilih makanan
cepat saji, praktis dan beragam
sehingga dapat menjadi pertimbangan
tersendiri bagi pelaku usaha
untuk berbisnis dalam bidang ini.
Omzetnya cukup menggiurkan.
Berdasarkan data Sosial Ekonomi
Badan Pusat Statistik tahun
2006, di Indonesia terdapat sekitar
7.700 unit hotel berbintang (1-5),
15.200 unit restoran, dan 655.600
unit warung (non restoran). Selain
itu, salah satu usaha terkait ma-kanan adalah usaha jasa boga atau
katering yang sebagian dari para
pelakunya tergabung ke dalam asosiasi
yaitu APJI (Asosiasi Pengusaha
Jasa Boga Indonesia). Pada tahun
2009, APJI tercatat memiliki anggota
sekitar 48.200 perusahaan yang
tersebar di 33 provinsi. Persentase
skala usaha terdiri dari perusahaan
besar sebanyak 5%, perusahaan
menengah 15% dan perusahaan kecil
80%.
Banyaknya jumlah hotel,
restoran, warung dan usaha jasa
boga atau katering yang telah
berkembang di Indonesia, menunjukkan
bahwa tingkat kebutuhan
masyarakat terhadap produk makanan
yang disediakan oleh perusahaan
jasa tersebut juga tinggi.
Mamin Berbasis Perikanan Kian
Berkembang
Perusahaan jasa mamin yang
terus berkembang hingga sekarang
ini, dibarengi pula dengan semakin
banyaknya unit usaha yang berbahan
dasar ikan. Hal ini karena
masyarakat semakin menuntut kebutuhan
gizi yang tinggi. Sementara itu,
ikan memiliki kandungan gizi yang
tinggi dengan keragaman bahan
baku yang mempunyai bentuk, rasa
dan warna berubah. Oleh karenanya
produk makanan dan minuman yang
berbasis ikan mempunyai peluang
besar untuk dikembangkan guna memasuki
seluruh segmen masyarakat.
Saat ini, restoran dan rumah makan
telah banyak menyajikan menu
spesialisasi ikan dengan berbagai
macam bentuk penyajian. Selain
itu, usaha katering juga telah lebih
banyak menggunakan produk bahan
baku ikan. Warung-warung tenda
pun telah banyak berdiri dengan
menu andalannya seperti “pecel ikan
lele”. Bahkan beberapa unit usaha
telah mengembangkan minuman
berbahan dasar rumput laut dengan
kemasan yang menarik dan rasa
yang unik. Adanya pembebasan
PPN bagi produk mamin diharapkan
dapat meningkatkan daya saing
sehingga nilai ekonomi yang beredar
akan lebih tinggi.
No comments:
Post a Comment