by Leonardo Rimba Kedua (Notes) on Friday, May 3, 2013 at 10:24am
Post Modernisme memang cuma istilah saja, kata Joko Tingtong tanpa ditanya. Matanya melacak status-status yg bertebaran di facebook pagi ini. Mereka tidak pakai istilah Post Modernisme atau Paska Modern. Mereka bahkan mungkin bingung, bertanya-tanya. Tapi tidak tahukah mereka, bahwa facebook ini pun produk Post Modern? Hanya mereka yg frekwensinya sudah menyambung dengan alam semesta Post Modern yg bisa betah di facebook. Post Modernisme memiliki paradigma yg unik. Paradigma adalah sudut pandang. Kalau paradigma yg dipakai adalah kesetaraan gender, maka era-nya post modern. Kalau paradigma yg dipakai "pria sebagai kepala rumah tangga", maka berarti itu masih di era modern.
Di era post modern, kepala rumah tangga bukan pria semata, melainkan siapa saja yg mau dan bisa. Banyak rumah tangga di era post modern memiliki dua kepala. Manusianya ada dua, maka kepalanya ada dua. Manusia dua orang yg mengepalai rumah tangga itu bisa berjenis kelamin pria dan wanita, bisa juga pria dan pria, dan bisa juga wanita dan wanita. Segalanya bisa saja, dan eksplorasi hal seperti itu merupakan sebagian tantangan yg dihadapi oleh mereka yg telah hidup di era post modern. Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia ini post modern atau modern? Jawab: Tergantung.
Tergantung manusianya sendiri.
Kalau masih mau mengharapkan segalanya ditentukan oleh role playing dengan mengikuti paradigma modern, maka artinya kita masih hidup di era modern. Kalau mau mengikuti role playing dengan paradigma post modern, maka jadilah post modern. Post modernitas ditentukan oleh kemauan. Kalau manusianya mau, maka jadilah itu. Kalau mau menikah, ya menikahlah. Kalau tidak mau, ya tidak usahlah. Dan itu berlaku bagi semua, baik pria maupun wanita. Di era modern, yg namanya pilihan merupakan suatu kemewahan karena semua orang akan bilang bahwa kita ditentukan. Segala pilihan di era modern ditentukan. Cara berpakaian ditentukan, cara berbicara ditentukan, bahkan cara berpikir juga ditentukan. Tetapi post modern membalikkan paradigma itu dengan mengatakan bahwa segalanya adalah pilihan. Kalau seorang wanita merasa harus menikah, dan ternyata setelah menikah merasa bahwa pilihannya salah, akhirnya si wanita akan bisa berbalik peran dan menjadi "pria", dalam tanda kutip. Artinya, secara simbolik menjalani peran sebagai seorang pria, atau menjadi maskulin. Menjadi seorang single parent adalah perbuatan yg sangat maskulin, contohnya. Banyak wanita yg single parent, sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Feminin sekaligus maskulin walaupun, menurut Joko sendiri, single parenthood lebih banyak maskulinnya.
Pada pihak lain, banyak pula pria yg ternyata manja, mencari kasih sayang kemana-mana, dari satu wanita ke wanita lainnya tanpa memperdulikan tanggung-jawab. Nah, kelakuan seperti itu lebih banyak sifat femininnya walaupun manusianya sendiri straight dalam orientasi seksual. Walaupun 100% hetero, kelakuan yg mencari tempat curahan hati dari satu wanita ke wanita lainnya merupakan sifat yg feminin. Maskulinitas dan femininitas disini bukan merupakan sesuatu yg positif maupun negatif, tentu saja; segalanya netral dan cuma merupakan kecenderungan saja. Kalau cenderung untuk mandiri, maka artinya lebih banyak maskulinnya. Kalau cengeng dan suka mencari perhatian, maka cenderung feminin. Nah, kalau pengertian jujur seperti itu yg kita pakai, maka akan tampaklah bahwa banyak wanita yg lebih maskulin daripada pria. Dan banyak pula pria yg lebih feminin daripada wanita. Lalu akhirnya bagaimana?
Akhirnya ya dijalani saja. Kalau seorang wanita menikmati untuk bersifat maskulin, ya jalani sajalah. Dari dahulu banyak wanita yg lebih mandiri daripada pria, tetapi tidak diakui atau bahkan ditekan oleh lingkungannya. Sekarang juga masih. Banyak wanita mandiri akan ditekan dengan segala macam cara oleh lingkungannya. Dan itu normal saja. Lingkungan sekitar selalu akan merasa terancam oleh kemandirian seorang wanita. Dan lingkungan yg terancam seperti itu menandakan bahwa itu adalah lingkungan modern. Kalau sang wanita mau tunduk terhadap desakan lingkungan yg berargumen segala macam, yg intinya bahwa wanita harus menerima kodrat, artinya wanita itu masih modern pula.
Kalau si wanita tidakmau menerima segala macam argumen berdasarkan kodrat yg notebene merupakan ideologi bagi pria dan untuk pria dengan cara mengorbankan wanita, maka si wanita akan jalan terus saja. Dia akan bilang so what gitu lho! Dan wanita yg seperti itu sudah cukup banyak di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta. Lalu, apakah sebenarnya kita sudah masuk era post modern? Mungkin sebenarnya sudah, tetapi tidak sekaligus. Era berganti melalui suatu proses, ada yg berjalan. Ada yg sudah masuk, dan ada yg masih tertinggal. Ada yg tertinggal sedikit, dan ada yg tertinggal banyak. Dan itu normal saja. Kenapa harus memaksakan diri? Kalau diri sendiri merasa sudah berada di era post modern, ya jalan saja. Mengapa kita harus mengkhotbahi orang lain yg masih harus berkutat dengan perjuangan gender, contohnya.
Spiritualitas bukanlah agama, melainkan hal bagaimana kita menjalani hidup kita masing-masing. Segala sesuatu yg berkaitan dengan kesadaran kita sebagai manusia, jatuh bangun kehidupan kita sebagai manusia, dan rasa koneksitas kita dengan sesuatu yg kita anggap sebagai Allah merupakan spiritualitas. Dan spiritualitas tidak harus berkaitan dengan agama. Kalau mau dikaitkan tentu saja bisa. Kalau mau tidak dikaitkan juga bisa. Kalau mau dilepaskan total dari agama juga bisa. Inilah era post modern dimana spiritualitas bisa dilepaskan dari agama. Di era modern, kebanyakan orang belum berani untuk melepaskan spiritualitas dari agama karena takut akan kehilangan arah. Ternyata kita sekarang telah membuktikan sendiri bahwa spiritualitas bisa, dan mungkin harus dilepaskan dari agama.
Spiritualitas di era post modern adalah pengertian bahwa segalanya merupakan pilihan. Ada banyak tantangan yg, antara lain berasal dari orang yg masih bingung dan mau memaksakan pendapatnya agar manusia lain tertib masuk dalam kategori agama yg ada. Pedahal, banyak dari kita sudah merasa gerah dengan segala macam ajaran maupun praktek di dalam agama sehingga akhirnya kita membuat agama sendiri saja. Di dalam era modern, membuat agama sendiri dibilang sesat. Dalam era post modern, segala sesuatunya dimungkinkan. Kita bisa membuat apapun yg kita percayai, dan kita sendiri juga yg menjalaninya. Kita bertanggung-jawab terhadap apapun yg kita percayai dan jalani yg, sebenarnya, lebih jujur daripada membeo segala ucapan orang lain yg jelas sudah tidak relevan dengan apa yg kita butuhkan.
Manusia bergerak semakin lama semakin menjadi insan yg rohaniah atau spiritual. Bergeraknya bukan ke arah agama institusional, tetapi ke dalam praktek menghayati spiritualitas masing-masing. Kultivasi spiritualitas bermacam ragam prakteknya, dan segalanya valid. Itulah essensi dari spiritualitas post modern, yaitu kita menentukan jenis spiritualitas apa yg akan kita kultivasikan. Kita menjadi diri sendiri saja tanpa perlu ikut-ikutan orang lain. Apapun yg anda pahami dan praktekkan, yakinlah bahwa anda tidak salah. Selama anda bisa merasa sehat secara psikologis dan spiritual, ya jalan saja dengan pendapat anda. Kurang lebih seperti itulah prinsip universalitas yg diterapkan dalam era post modern. Tidak ada salah ataupun benar disini, melainkan pilihan.
Ada orang yg mau bertahan pada satu pegangan sehingga sedikit-sedikit merasa tersinggung. Kalau orang tersinggung, maka itu merupakan masalah di diri orang itu sendiri. Pegangannya terlalu gede sehingga gede tersinggung juga. Kalau tidak memegang apapun seperti saya, apa yg bisa disinggung? Kesimpulan Joko: spiritualitas di era post modern adalah pilihan yg terbuka. Apapun bisa dipilih dan dijalani oleh manusianya tanpa kita perlu merasa risih atas pilihan yg diambil oleh orang lain. Spiritualitas adalah urusan pribadi dari setiap manusia, dan bukan untuk diperdebatkan kebenaran atau ketidak-benarannya. Segala yg dipercayai manusia sah saja, karena berlaku bagi dirinya sendiri.
Dalam era post modern banyak juga terjadi re-introduksi nilai tradisional yg dikaji kembali dan diberikan pemahaman baru. Gerakan New Age yg muncul di Barat dan sekarang sudah makin marak juga di Indonesia sebenarnya bukan membawakan sesuatu yg baru, melainkan lama. Segala jenis spiritualitas yg dianggap eksotik di Barat dianggap sebagai bagian dari New Age, pedahal di tempat aslinya mereka semua merupakan hal yg lama. Sebenarnya harus disebut sebagai Old Age. Pemahaman spiritual yg berasal dari Indonesia seperti Kejawen dalam berbagai alirannya akhirnya dianggap sebagai bagian dari spiritualitas New Age oleh mereka yg tinggal di Barat.
Kita sendiri sampai sekarang tidak menganggap kepercayaan tradisional Indonesia sebagai New Age atau bagian dari spiritualitas post modern. Tetapi di Barat ternyata kepercayaan tradisional Indonesia dianggap termasuk. Termasuk sebagai spiritualitas post modern. Spiritualitas post modern bisa juga berarti hal-hal yg berasal dari tradisi non Judeo-Christian. Aliran-aliran kepercayaan dari India, Cina, Jepang, Indonesia, dll dianggap New Age karena bukan merupakan bagian dari tradisi Judeo-Christian. Dianggap baru juga karena diasumsikan bahwa kepercayaan asli dari Asia bersifat toleran sebagai anti-thesis dari tradisi Judeo-Christian yg tidak toleran. Spiritualitas post modern sangat toleran. Manusia bisa dan berhak percaya apapun yg ingin dipercayainya.
Tradisi Judeo-Christian tidak seperti itu. Aslinya tradisi Judeo-Christian sangat tidak toleran terhadap perbedaan pendapat. Tetapi bagi mereka yg sudah hidup di masa post modern, era Judeo-Christian sudah berlalu. Sekarang sudah masuk era post modern dimana yg menjadi paradigma adalah toleransi. Kita bisa toleran terhadap apapun yg mau dipercayai dan dipraktekkan oleh orang lain. Segalanya itu valid bagi manusianya sendiri.
No comments:
Post a Comment