sumber:naskah buku psikologi tarot
IV
IV
Tarot, Pencarian Diri dan Spiritualitas
The principle mark of genius is not perfection but
originality,
the opening of new frontiers.
--Arthur Koestler--
Barangkali belum semuanya benar-benar yakin bahwa tarot
berkaitan erat dengan spiritualitas. Walaupun nampaknya sungkan untuk
dibicarakan, tetapi mau tidak mau kita harus menerapkan apa yang kita pahami
tentang spiritualitas di dalam pembacaan tarot. Tetapi ini tidak berarti bahwa
penerapan spiritualitas semua pembaca tarot haruslah seragam. Kebenaran lebih
tinggi itu tercapai melalui proses terus-menerus. Kegiatan meramal melalui
kartu tarot hanyalah hasil sampingan dari seorang pewacana yang mendaki tapak
spiritualitasnya masing-masing.
Berikut adalah pengertian-pengertian pokok tentang tarot dan
spiritualitas:
1) Seorang pewacana tidak selalu menjadi lebih spiritual
karena dia menjadi lebih ahli meramal. Tetapi, seorang pewacana menjadi lebih
pakar meramal karena dia menjadi lebih spiritual.
2) Kemampuan seorang pewacana untuk membukakan alternatif
jalan-jalan kehidupan bagi mereka yang bertanya kepadanya merupakan ajang
pengujian tentang seberapa jauh penghayatan pendakian secara spiritual yang
telah mampu dicapai oleh seorang pewacana.
3) Semakin mampu seorang pewacana membantu mereka yang
bertanya kepadanya, semakin besar rasa syukur yang dinaikkannya terhadap yang
di Atas, sehingga kerinduan dan usahanya untuk semakin ahli menjadi semakin
bertambah.
4) Semuanya itu menuju pada satu titik tujuan, yaitu
mendekatkan diri kepada sang Khalik Semesta Alam yang mengatur dan memberi
jalan bagi semua ciptaan.
Dilihat dalam konteks ini, aktivitas mewacana atau meramal
memang tidak lebih daripada produk sampingan belaka. Aktivitas utama adalah
pendakian spiritual.
Konteks Spiritualitas dalam Tarot
Dalam semesta kehidupan ini, ada hal-hal yang sejatinya tak
dapat dinamai, tak dapat dijelaskan, dan tak dapat direngkuh masuk ke
keterbatasan nalar manusia. Hal-hal inilah yang dalam kesejatiannya itu,
membuat hidup manusia berada dalam ketakpastian. Lalu, manusia mencoba
meredusir hal-hal itu ke dalam penamaan, penjelasan, pe-metafora-an, dan
penyederhanaan makna agar masuk ke dalam nalarnya yang terbatas.
Upaya
ini menimbulkan teks-teks yang kita baca sebagai: Tuhan, Allah, Cinta, Surga,
Tanah-Terjanji, Sang Penebus, Sang Penyelamat, Nabi A-Nabi B, dan lain
sebagainya. Sejauh itu semua dilakukan untuk membantu manusia memahami akan
adanya suatu ‘spirit’ yang begitu besar dan tak terpahami oleh keterbatasannya,
maka segala teks itu akan membantu manusia dalam arah hidupnya. Permasalahan
kemudian timbul ketika manusia justru lebih memercayai dan mendewakan teks-teks
itu sendiri dan makin jauh melupakan ‘spirit’ di balik teks itu.
Dalam tarot, kita justru diajak untuk menemukan spirit itu. Tarot
bukan sesuatu yang bersifat dogmatis. Tarot juga bukan sesuatu yang bersifat
ego (pasti, definitif, utuh, fix) melainkan mengalir. Psikologi Tarot bukanlah
psikologi Ego, melainkan Psikologi Liyan (Yang-Lain, the Other). Ia tak memperlakukan manusia semena-mena, ia tak
menuduh manusia atau berusaha memasukkan manusia dalam definisi-definisi yang
justru menghilangkan keunikan dan keberagaman manusia. Di sinilah letak
kekuatan spiritual dari Tarot, atau Psikologi Tarot dalam konteks buku ini.
Seorang pewacana Tarot tidak berpretensi dirinya tahu
segalanya melalui konsep-konsep psikologi. Ketika berhadapan dengan klien,
seorang pewacana tarot melihat klien sebagai Yang-Lain. Apa itu Yang-Lain?
Yang-Lain adalah sesuatu yang tak terbatas. Ada begitu luas kemungkinan dalam Yang-Lain
sehingga ia tak bisa direduksi dalam teori-teori psikologi. Yang-Lain bukan
Aku-Yang-Lain seperti sering dilakukan oleh psikologi ego. Para
penganut psikologi ego, ketika berhadapan dengan klien akan cenderung
mendefinisikan klien dan kehidupannya sesuai teori. Psikologi Tarot tidak
demikian. Justru ketika berhadapan dengan Yang-Lain, maka terjadi penyatuan
antara yang imanen dan yang transenden. Diri si pewacana keluar untuk menyelami
kedalaman dari Yang-Lain. Sesuatu yang imanen, masuk dalam yang transenden,
yang tak terbatas, yang bukan aku. Nah, di situlah sebenarnya kunci
spiritualitas dari Tarot.
Inilah yang oleh
Emmanuel Levinas disebut sebagai alteritas. Suatu sapaan yang bukan bertujuan
untuk menjadi negasi dari konsep yang ada dalam diri, tapi mengundang “saya”
untuk keluar dari imanensi dan mengalami “transendensi” bersama “Liyan”[1].
Manusia pada dasarnya terbentuk dari elemen yang sebenarnya adalah
konsep-konsep yang pernah dipelajarinya. Konsep-konsep inilah yang digunakan
untuk membangun diri dan kerapkali juga digunakan untuk memahami orang lain.
Manusia terbenam dalam elemen-elemen ini seperti dijelaskan Jacques Lacan
sebagai keterbenaman manusia dalam imaji-imaji yang membuatnya semakin terasing
dari diri.
Namun bagi Levinas, elemen adalah suatu pra-kondisi
bagi pemisahan subjek dari elemen. Subjek pada dasarnya tenggelam dalam
ke-liyan-an (otherness) elemen-elemen
yang dimasukkan dalam dirinya, membawa elemen-elemen itu ke dalam suatu rentang
identitas dan kesamaan, sehingga bisa disimpulkan bahwa subjek hidup dari
elemen-elemen itu[2].
Namun, ketika berjumpa dengan Liyan, maka manusia disapa dan diajak untuk
keluar dari imanensi elemen-elemen dan masuk dalam transendensi, dalam sesuatu
yang tak terbatas.
Ketika kita bisa melihat perjumpaan dengan Yang-Lain sebagai
momen untuk menyelaminya, maka di situlah kebesaran kekuatan yang Ilahi akan
ditemukan pula. Bukankah Yang-Ilahi itu adalah segala kemungkinan itu sendiri?
Segala kemungkinan dalam hidup manusia? Segala kemungkinan yang hanya bisa
diselami ketika kita terbuka untuk segala kemungkinan itu? Nah, dalam situasi
seperti inilah yang Ilahi dan Transenden, turun menyatu dengan manusia yang
imanen. Sesuatu yang terbatas (manusia, pewacana tarot) melihat klien sebagai
Yang-Lain (Yang tak terbatas, Yang memiliki kemungkinan begitu luas), lalu yang
terbatas ini keluar dari keterbatasannya untuk masuk ke dalam Yang-Tak
Terbatas. Yang-Ilahi bukan sesuatu yang transenden di awang-awang sana, tapi menyatu dalam
imanensi pada perjumpaan-perjumpaan dengan Yang-Lain dalam keseharian manusia. Perlu
dicatat di sini bahwa setiap perjumpaan dengan orang lain, bukanlah kebetulan,
artinya orang tersebut pasti membawa pesan bagi kita, sekaligus kita
menyampaikan pesan juga bagi si orang itu.
Pesan itu hanya bisa tertangkap ketika kita tidak
menempatkan orang-lain sebagai Aku-yang-Lain. Orang-Lain adalah sesuatu yang
tak terbatas kemungkinannya, yang-bukan-aku. Itulah sebabnya walau keluar kartu
yang sama untuk dua orang yang berbeda, maka interpretasinya akan berbeda.
Inilah kunci dari spiritualitas tarot, menyelami Yang-Lain. Ketika kita mampu
menyelami Yang-Lain, maka di situlah spiritualitas kehidupan juga akan berada
dalam pencariannya. Spiritualitas bukan sesuatu yang mati, ia selalu hidup dan
harus elalu dalam pencarian. Spiritualitas bukan dogma, karena spiritualitas
dogmatis adalah spiritualitas yang mati. Tuhan yang dogmatis adalah tuhan-tuhan
yang mati. Tuhan yang hidup ada dalam konteks kehidupan manusia, dalam
perjumpaan-perjumpaan, dalam peristiwa-peristiwa, dan dalam
kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga luasnya.
Tarot dan Tetragrammaton
Jika anda membaca sejarah mengenai sosok Ilahi (yang sering
kita sebut pula Tuhan, Allah, dan sejenisnya) maka kita akan menemukan bahwa
sosok itu, karena ke-maha-annya, tak bisa dijelaskan oleh manusia, bahkan
menyebut namanyapun tidak bisa. Bangsa Israel menandai sosok ini dengan
empat huruf (tetragrammaton); YHWH. Karena semua terdiri dari huruf mati, maka
tidak bisa dibaca. Meski kemudian ada yang sedikit merubah sehingga bisa dibaca
sebagai Jahweh atau Jehovah.
Kenapa empat huruf? Empat huruf menyimbolkan quarternitas,
sebuah Mandala. Dalam Tarot juga terdiri dari empat elemen Wands, Cups, Swords,
Pentacles. Jika dicermati, empat elemen ini juga berhubungan dengan empat huruf
YHWH.
Huruf Y atau Yod bermakna tangan yang tebuka (open hand).
Huruf itu sendiri secara aktual menyusun kembali suatu bara dan ini
merepresentasikan radian energi unversal yang datang dari ketinggian menuju
pada anda, membarakan proses kreasi. The Wands merepresentasikan anda menerima
suatu inspirasi lalu merancang intensi anda untuk menggapai sesuatu hal
tertentu[3].
Huruf H atau heh diasosiasikan dengan air dan lebih jauh
adalah cups. Heh bermakna “jendela”. Cahaya dari bara memasuki jendela. Layaknya
cups yang menunggu untuk diisi atau dibuahi dengan arus posibilitas kreatif dab
perasaan yang mungkin dibangkitkan karenanya. Cups merepresentasikan anda
mengimajinasikan dan memfantasikan mengenai berbagai bentuk suatu hal tertentu
yang mungkin dibawa. Layaknya air yang terbawa dalam suatu wadah dan mengikuti
bentuk wadah itu, maka imajinasi anda mengikuti apa yang anda pikirkan[4].
Huruf W atau vav diasosiasikan dengan udara dan lebih jauh
adalah swords. Vav berarti kaitan (hook) atau link. Pedang (swords) memotong
sesuatu menjadi potongan. Sebuah pedang juga memotong menembus suatu materi.
Pedang sebenarnya mengaitkan antara dunia posibilitas kreatif dengan dunia
bentuk manifes. Pedang merepresentasikan mental menganalisa, menguji,
mereformulasi, merencanakan sesuatu, dan mencipta pola bagi apa yang telah
tercipta sebelumnya[5]. Ini adalah
unsur rasio yang meredusir sesuatu yang besar, agar mauk ke dalam pemahaman
manusia yang terbatas. Tanpa diredusir, sesuatu yang besar itu tak akan
terpahami oleh manusia yang pemahamannya terbatas.
Huruf H atau heh juga diasosiasikan dengan bumi dan lebih
jauh dengan pentacles. Heh yang seperti dijelaskan sebelumnya bermakna
“jendela”, maka ia juga bisa berfungsi terbuka dan tertutup. Pentacles
merepresentasikan bagaimana anda bekerja dengan hal-hal bersifat fisik yang
bisa membuatmu mencapai kemapanan dalam duniamu[6].
Pentacles dengan demikian terkait dengan apa yang bisa anda raba, sentuh,
rasakan, lihat dengan pengindraan. Termasuk pula bagaimana anda mengambil posisi
tertentu dalam budaya di mana anda terlempar agar anda memeroleh kemapanan.
Sampai di sini, kita telah menganalisa Tetragrammaton dan
kaitannya dengan tarot. Lebih jauh lagi, kita bisa melihat bahwa Sang Ilahi
yang tak terhingga itu, sebenarnya menyatu dalam kehidupan manusia. Sayangnya,
manusia sering menempatkan-Nya jauh di awang-awang sana. Kosong dalam transendensinya. Tarot,
sebenarnya mencoba mempertemukan kembali apa yang transenden itu dengan
imanensi hidup manusia. Bahwa Tuhan, sang Kebenaran dalam hidup manusia itu
sendiri, bukanlah kebenaran-kebenaran tekstual (baca dogmatis) seperti yang
sering bisa disaksikan menjebak manusia untuk kehilangan kemanusiaannya itu.
Tarot, sebenarnya bekerja mirip dengan apa yang diungkapkan Derrida dalam Dekosntruksi-nya.
Jacques Derrida,
hadir dengan Dekonstruksinya untuk menantang segala totalitas makna,
penafsiran, atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi
sosial, kultur, politik, dan pelbagai order
of things yang ingin menata dunia ke dalam suatu sistem tunggal dan koheren[7].
Derrida memelajari pemikiran dari filsuf-filsuf dan menemukan
ketidakkonsistenan dalam teks-teks pemikiran mereka. Dari titik ini, bisa
ditarik bahwa pada segala hal yang tekstual, tak akan pernah ada makna yang
stabil. Semua yang tekstual, bisa didekonstruksi. Dekonstruksi, berbeda dari destruksi;
jika destruksi menghancurkan bangunan tapi masih memungkinkannya untuk
membangun kembali, namun dekonstruksi tidak. Dekonstruksi menghancurkan tatanan
dan membiarkannya mengambang serta tak mungkin dibangun kembali. Segala
kebenaran pun, ketika diletakkan secara tekstual (atau sebatas konsep) akan
selalu bisa didekonstruksi.
Derrida
sebenarnya mengajak manusia untuk lebih ‘rendah hati’ dalam melakukan segala
tafsir terhadap kebenaran. Bagi Derrida, tafsir-tafsir semacam itu, semestinya
berangkat dari pemosisian diri sebagai yang tidak tahu apa-apa dan dari
ketakberdayaan si penafsir untuk merangkum dunia yang sebegitu majemuk. Dalam
tafsir yang ditulis dalam kesadaran akan kefanaan itu, tak ada lagi
pengelevasian satu keyakinan kebenaran di atas yang lain; manusia sebagai
penafsir, sepenuhnya tenggelam dalam kabut pekat dan selubung misteri akan
kebenaran. Misteri inilah sebenarnya juga yang menjadi kesejatian hidup
manusia, namun juga dalam misteri inilah segala kemungkinan kehidupan manusia
dapat terjadi. Persoalannya, banyak manusia yang justru taj tahan berada dalam
misteri ini dan tak berani menghadapinya. Mereka kemudian lari bersembunyi di
balik logos-logos yang memberi ketentraman melalui kebenaran semu.
Dekonstruksi,
lebih merupakan ajakan untuk tidak melihat “kebenaran” yang kita yakini sebagai
satu-satunya kebenaran. Dekonstruksi mengajak bahwa kebenaran itu relatif
karena ada begitu banyak kebenaran yang dapat dipilih manusia. Inilah yang
seringkali tak disadari manusia. Maka tak heran kemudian orang bisa meledakkan
berbagai tempat dan menimbulkan korban nyawa demi “kebenaran” yang diyakininya.
Orang bahkan rela mati dengan bom bunuh diri demi sebuah “kebenaran” dalam diri
yang sebenarnya sangat relatif. Sementara “kebenaran” yang diyakini orang yang
satu kerapkali justru masih menjadi pertanyaan bagi orang lain. Manusia, yang
dalam kesejatiannya selalu terobang-ambing dalam kesementaraan, memang akan
selalu mencoba mencari “kebenaran” sebagai pegangan. Ironisnya, manusia tak
menyadari bahwa kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang sama luasnya dengan
manusia sehingga tak mungkin direduksi sebagai suatu yang bisa dipegang.
Dalam
dekontruksi, ada prinsip yang barangkali tepat menggambarkan suasana di atas.
Derrida meringkasnya dalam tiga kalimat berikut: sans savoir, sans voir, sans avoir (tidak mengetahui, tidak
melihat, tidak memiliki). Sans savoir
(tidak mengetahui) menggambarkan bahwa sebuah teks tidak selalu dapat ditangkap
penafsir dalam totalitasnya. Dengan begitu ada kerendahan hati untuk mengakui
bahwa penafsir tidak mempunyai otoritas pengetahuan aras penafsirannya. Dalam
rangkaian proses yang infinit ini, penafsiran selalu berupa “penghampiran”
terus-menerus atas kebenaran yang tidak pernah sampai pada totalitasnya (presque totalité)[8].
Sans voir (tidak melihat) mengisyaratkan sebuah
keterbatasan indera dan penglihatan manusia akan kebenaran. Kebenaran adalah
sebuah ekstasis ketakjuban manusia akan misteri yang berada di luar penglihatan
normal. Manusia yang inderanya terbatas, dalam menginterpretasi kebenaran ia
layaknya orang buta, si penafsir yang terlempar ke dalam ngarai tanpa dasar (Ab-grund) yang tak memungkinkannya
membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang kokoh. Penafsiran akan
selalu membias, tak stabil dan tak pernah selesai[9].
Lalu, sans avoir (tidak memiliki). Pada momen
ini, kebenaran didevaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi
berada di pangkuan penafsir, melainkan bergerak menyebar ke
penafsiran-penafsiran lain yang beda[10].
Inilah sebabnya dalam sebuah pewacanaan Tarot, ketika satu kartu yang sama,
memiliki kemungkinan penafsiran yang sama luasnya dengan jumlah manusia di
dunia ini. Bahkan lebih luas lagi ketika penafsiran itu dihadapkan pada
ketakterbatasan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa.
Ini karena Tarot
bukan psikologi yang terjebak dalam bahasa verbal, dalam dalil-dalil seperti
dalam PPDGJ. Tarot justru mengajarkan untuk melampaui bahasa verbal dan segala
kelemahannya. Tarot tak akan mereduksi setiap klien dalam definisi-definisi
yang telahd ibuat sebelumnya, meski ada arti nomotetis pada setiap simbol,
namun pemaknaannya akan selalu idiosinkretis. Di sinilah sebenarnya kesejatian
dari kebenaran itu.
Kebenaran yang
dinyatakan dalam bahasa, tak akan menemui kesejatiannya sebagai kebenaran. Ia
tak lebih sebagai bangunan yang tak pernah usai. Layaknya mitologi Menara Babel
yang pembangunannya terhenti karena para pekerjanya memiliki bahasa yang
berbeda-beda; seperti itupulalah kesejatian kebenaran; ia tak akan pernah
secara utuh dibangun oleh bahasa. Kesejatian kebenaran ini bertemu dengan
kesejatian manusia yang juga selalu berada dalam kesementaraan. Pada titik
inilah pemikiran Nietzchean dan Dekonstruksi Derrida menemukan implikasinya.
Manusia dan kebenaran selalu berada dalam kesementaraan dan perjalanan
pencarian; namun justru dalam kesementaraan dan pencariannya itulah manusia dan
kebenaran masih memiliki arti. Jika kesementaraan dan pencarian itu tak ada,
maka sebenarnya manusia dan kebenaran telah mati.
Sayangnya, justru
itulah yang saat ini tengah terjadi pada banyak manusia. Setiap hari manusia
justru kehilangan kehidupannya dan mati dalam dogma-dogma ataupun klaim-klaim
“kebenaran”. Dalam agama yang sama terdapat sejumlah aliran yang bertentangan
satu sama lain dan sama-sama mengklaim dirinya sebagai “kebenaran” sejati.
Dalam kehidupan masyarakat orang melukai orang lain dengan mengatasnamakan
kebenaran yang diyakini. Berbagai iklan menawarkan klaim kebenaran melalui
berbagai cara. Di dunia psikologi para psikolog membuat “kebenaran-kebenaran”
sebagai “pembenaran” klaimnya atas manusia lain. Sekolah-sekolah menjadi ajang
ritual memamah “kebenaran” melalui berbagai hegemoni yang dikonstruksi dalam
pelajaran sejarah maupun moral. Seolah kebenaran itu objek atau benda mati yang
bisa begitu saja dikuasai atau dibungkus dan dibawa ke mana-mana.
Padahal apa yang
disebut Kebenaran dan kesalahan sejatinya selalu terapung-apung dalam gelombang
interpretasi yang berusaha menjaga dan mengatur. Lalu apakah kebenaran manusia
itu? Kebenaran adalah kesalahan manusia yang tak dapat dihindari. Kebenaran
adalah kesalahan yang tak satupun manusia dapat hidup tanpanya[11].
Perubahan gaya dalam menginterpretasi kebenaranlah yang dibutuhkan manusia.
Jika ada gaya dalam menginterpetasi kebenaran, maka gaya itu semestinya plural sehingga manusia tak mati dalam
universalitas dan keuniversalan keyakinan yang mengungkung. Kebenaran, hanya
bisa didapatkan dengan cara melampaui “kebenaran”, yaitu dengan menghadapkan
kebenaran itu dalam kemungkinan-kemungkinannya sendiri.
Tarot mengambil
posisi untuk menawarkan sebuah “gaya” dalam penafsiran kebenaran. Penafsiran
yang mengakomodasi pluralitas kebenaran itu sendiri, sehingga kebenaran itu
hidup dan tumbuh berkembang dalam diri masing-masing manusia. Tarot juga
memperlihatkan bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang Ilahi itu sendiri. Yang
tak dapat dirangkum seenaknya dalam pengertian-pengertian manusiayang terbatas.
Perjalanan hidup: pencarian dan spritualitas
Psikologi Tarot sebenarnya tak lepas dari psikologi
perjalanan hidup yang di dalamnya terdapat pencarian dan spiritualitas.
Psikologi semacam ini ada dalam diri setiap manusia, karena setiap manusia
memiliki perjalanan hidup dan dalam perjalanan hidupnya selalu ada pencarian
dan spritualitas. Bagaimana bentuknya, itu soal lain lagi dan justru di situlah
peran psikologi tarot. Psikologi tarot, sebenarnya bekerja pada azas
sinkronisitas. Apa itu sinkronisitas? Secara sederhana dapat kami katakan bahwa
sinkronisitas bisa diartikan bahwa tak ada kebetulan di dunia ini. Seorang
klien yang bertemu dengan seorang pewacana Tarot bukanlah sebuah kebetulan.
Anda yang tengah membaca buku ini bukanlah kebetulan.
Lho? Di mana bukan kebetulannya? Begini, seperti saya
jelaskan sebelumnya, setiap perjumpaan dengan orang lain, menyiratkan bahwa
orang itu membawa pesan bagi anda dan andapun membawa pesan bagi orang lain.
Perjumpaan dengan peristiwapun demikian, termasuk peristiwa membaca buku
Psikologi tarot seperti yang tengah anda lakukan saat ini. Dalam setiap
perjumpaan atau peristiwa itu, selalu ada pilihan, apapun bentuk pilihan itu
dan konteks seperti apa pilihan itu dibuat. Inilah letak kebebasan manusia yang
akan sanga dihargai dalam psikologi tarot.
Manusia memang memiliki kebebasan memilih, dan justru pada
pilihannyalah kualitas seorang manusia ditentukan. Pada kualitasnya itulah
keber-Ada-an manusia. Ada
dua pilihan untuk meng-Ada bagi manusia, yaitu To Be (menjadi) atau To
Becoming (menjadi seperti, menjadi dalam suatu keselarasan dengan). To be adalah gambaran bagi mereka yang
menemukan otentisitas dalam pilihan-pilihan hidupnya. Sebaliknya, to becoming adalah pilihan bagi mereka
yang memilih mengikuti arus kepantasan, apa yang menjadi trend, tanpa memiliki pemaknaan atas apa yang dilakukannya.
Keduanya adalah pilihan yang sah-sah saja.
Kualitas itu dengan demikian tak lepas dari konteks
bagaimana manusia menghadapi pilihan-pilihan hidupnya, tak lepas pula dari
bagaimana memahami secara mendalam hal-hal dalam hidupnya, bahkan hal yang
sepintas tampak remeh sekalipun. Saya jadi teringat pada pemikiran James
Redfield yang dituangkan dalam novel Celestine
Prophecy. Wawasan pertama dalam Celestine
Prophecy menjelaskan bahwa manusia hendaknya menyadari bahwa kehidupan
merupakan perjalanan spiritual yang dibimbing oleh kebetulan-kebetulan
misterius. Bahwa ada sesuatu yang mesti disadari dan dimaknakan di balik
kejadian-kejadian kebetulan dalam hidup manusia. Suatu ketika, kita mungkin
punya firasat atau intuisi mengenai sesuatu yang ingin kita lakukan, arah yang
ingin kita tempuh, dan meragukan bahwa hal itu mungkin terjadi. Namun ketika
kita telah agak lupa tentang hal itu, kita tiba-tiba bertemu seseorang atau
membaca sesuatu atau pergi ke suatu tempat yang ternyata menuntun kita ke arah
kesempatan yang kita impikan[12].
Wawasan pertama
mengajarkan kepada kita bahwa ketika peristiwa-peristiwa dalam hidup dapat kita
maknakan maka peristiwa-peristiwa itu akan menyemangati kita, sebaliknya bila
peristiwa-peristiwa itu kita anggap sebagai sesuatu kebetulan belaka, maka
peristiwa-peristiwa itu tidak dapat menyemangati hidup kita. Wawasan pertama
merupakan kesadaran tentang peristiwa-peristiwa kebetulan yang misterius yang
mengubah hidup seseorang, perasaan bahwa suatu proses yang lain tengah
berlangsung[13].
Wawasan pertama
mengajak manusia untuk tak melenyap dalam arus, dalam banalitas, namun lebih
merenungkan hidupnya. Membuat pemaknaan-pemaknaan yang tak sekedar pra-reflektif
melainkan masuk dalam tataran pemaknaan reflektif. Pemaknaan reflektif ini bisa
dimulai dari peristiwa-peristiwa keseharian. Bahkan hal-hal yang sepertinya
cuma kebetulan, maka tak salah jika kedalaman justru dapat ditemukan dari
kedangkalan. Pada titik ini, manusia diajak untuk menyadari bahwa tak ada hal
yang kebetulan. Hal-hal remeh, pertemuan-pertemuan, peristiwa keseharian,
adalah hal-hal yang sebenarnya membawa pesan bagi pertumbuhan masing-masing
manusia.
Martin Heidegger, mengungkapkan pemikiran bahwa barangsiapa
mencari kedalaman, mulailah dengan yang dangkal-dangkal dan melihat kedangkalan
dengan tatapan yang cermat dan dalam, maka kedalaman itu akan muncul dari
hal-hal yang bersifat permukaan itu. Heidegger melihat bahwa manusia adalah
entitas yang bergerak dalam pemahaman tentang Ada. Maka dalam keseharianpun, manusia dapat
memetik pemahaman tentang Ada.
Heidegger mengatakan ini dalam Sein an
Zeit sebagai mistik keseharian, yaitu bersikap mistis dalam keseharian;
yang berarti menghayati keseharian secara mendalam sampai ke dasar-dasar Ada kita sendiri, dengan cara menanyakan Ada[14].
Apa yang dimaksud
dengan menanyakan Ada? Maksudnya tak lain adalah tidak sekedar menjalani hidup,
melainkan bergumul dengan diri sendiri dan bertanya mengapa dia ada[15].
Di sinilah proses meng-Ada (Being)
berlangsung, dalam suatu tataran yang reflektif terhadap apa saja yang ditemui
di dunia ini. Manusia, memang akan larut dalam keseharian, mengambil identitas
demi identitas, bergerak dalam jaman; tapi bukan itu yang penting, di atas itu
semua, manusia tak boleh melenyap dalam pergerakan itu. Dalam keterseretan arus
itu, manusia tak boleh tenggelam, apalagi mati; Manusia diajak untuk menyembul
ke permukaan melalui perenungan-perenungan. Ini karena manusia seringkali larut
dalam keseharian, larut dalam kegenitan tawaran-tawaran hal baru.
Nah, di sinilah
kita baru melihat konteks seperti saya jelaskan dalam subjudul “Perjalanan
Hidup: Pencarian dan Spritualitas”. Perjalanan hidup manusia sebenarnya adalah
sebuah pencarian dan selalu memuat spritualitas. Perbedaannya terletak pada
kedalaman dari pencarian dan spritualitas tersebut. Mengapa terjadi perbedaan
kedalaman? Karena tak semua mampu menyelami secara mendalam hidupnya. Kenapa
manusia tak bisa menyelami secara mendalam hidupnya? Karena mereka telah
terbiasa memercayai sesuatu begitu saja, mengambil hal-hal secara
taken-for-granted. Mengapa bisa demikian? Karena manusia terbiasa untuk hanya
menggunakan hal-hal yang sifatnya logosentris seperti rasio, hati nurani, akal
budi, iman, nalar, kemasukakalan dan sejenisnya. Hal-hal itu bukan sesuatu yang
bisa dipersoalkan lagi karena ditempatkan secara absolut. Masalahnya tidak
semua dalam hidup manusia bisa dijelaskan oleh hal-hal itu. Masalah lain, lagi,
dalam banyak hal semua logosnetris itu justru membuat manusia tak menyadari
kemungkinan lain di luar yang bisa dijelaskan olehs emua logos tersebut. Di
sinilah peran psikologi Tarot. Melalui bahasa simbol yang ada, psikologi Tarot
bisa melampaui semua hal-hal absolut itu dan membawa manusia pada samudera
kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Bahkan Tuhan pun dalam ketakberhinggaannya
tak akan bisa dipahami secara logosentris, namun justru harus tetap dipahami
dalam ketakberhinggaannya, dalam kehadirannya pada hidup manusia melalui
kemungkinan-kemungkinan hidup yang tak terbatas.
[1] Muhammad
Al-Fayyadl; (2005); Derrrida;
Yogyakarta: LKIS; hal.150
[2] Immo Pekkarinen; The Many Faces of Woman-The Place of Woman
in Emmanuel Levinas´s Totality and Infinity; retrieved 6 Oktober 2005 pukul
18.05 WIB; online documents: http://www.saunalahti.fi/immopek/elevinasa.htm
[7] Muhammad
Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS; hal. 172
[8] Muhammad
Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal. 174-175
[9] Muhammad
Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal.175
[10] Muhammad
Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal.176
[11] Gayatri Chakravorty
Spivak; (2003); membaca pemikiran Jacques Derrida-Sebuah Pengantar; saduran
Inyiak Ridwan Muzir; Yogyakarta:Arruzz; hal. 53
[12] James Redfield; (1998); The
Celestine Prophecy – Manuskrip Celestine; saduran Alfons Taryadi,
Jakarta:Penerbit Gramedia; hal.20-21.
[13] Ibid; hal. 42
[14] F. Budi Hardiman; (2003); Heidegger
dan Mistik Keseharian – Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit; Jakarta :
Kepustakaan Populer Gramedia; hal. 43
[15] Ibid ; hal. 46-47
No comments:
Post a Comment