Apr 24, 2013

tarot iv


sumber:naskah buku psikologi tarot

IV
Tarot, Pencarian Diri dan Spiritualitas

The principle mark of genius is not perfection but originality,
the opening of new frontiers.

--Arthur Koestler--

Barangkali belum semuanya benar-benar yakin bahwa tarot berkaitan erat dengan spiritualitas. Walaupun nampaknya sungkan untuk dibicarakan, tetapi mau tidak mau kita harus menerapkan apa yang kita pahami tentang spiritualitas di dalam pembacaan tarot. Tetapi ini tidak berarti bahwa penerapan spiritualitas semua pembaca tarot haruslah seragam. Kebenaran lebih tinggi itu tercapai melalui proses terus-menerus. Kegiatan meramal melalui kartu tarot hanyalah hasil sampingan dari seorang pewacana yang mendaki tapak spiritualitasnya masing-masing.
Berikut adalah pengertian-pengertian pokok tentang tarot dan spiritualitas:
1) Seorang pewacana tidak selalu menjadi lebih spiritual karena dia menjadi lebih ahli meramal. Tetapi, seorang pewacana menjadi lebih pakar meramal karena dia menjadi lebih spiritual.
2) Kemampuan seorang pewacana untuk membukakan alternatif jalan-jalan kehidupan bagi mereka yang bertanya kepadanya merupakan ajang pengujian tentang seberapa jauh penghayatan pendakian secara spiritual yang telah mampu dicapai oleh seorang pewacana.
3) Semakin mampu seorang pewacana membantu mereka yang bertanya kepadanya, semakin besar rasa syukur yang dinaikkannya terhadap yang di Atas, sehingga kerinduan dan usahanya untuk semakin ahli menjadi semakin bertambah.
4) Semuanya itu menuju pada satu titik tujuan, yaitu mendekatkan diri kepada sang Khalik Semesta Alam yang mengatur dan memberi jalan bagi semua ciptaan.
Dilihat dalam konteks ini, aktivitas mewacana atau meramal memang tidak lebih daripada produk sampingan belaka. Aktivitas utama adalah pendakian spiritual.

Konteks Spiritualitas dalam Tarot
Dalam semesta kehidupan ini, ada hal-hal yang sejatinya tak dapat dinamai, tak dapat dijelaskan, dan tak dapat direngkuh masuk ke keterbatasan nalar manusia. Hal-hal inilah yang dalam kesejatiannya itu, membuat hidup manusia berada dalam ketakpastian. Lalu, manusia mencoba meredusir hal-hal itu ke dalam penamaan, penjelasan, pe-metafora-an, dan penyederhanaan makna agar masuk ke dalam nalarnya yang terbatas.
Upaya ini menimbulkan teks-teks yang kita baca sebagai: Tuhan, Allah, Cinta, Surga, Tanah-Terjanji, Sang Penebus, Sang Penyelamat, Nabi A-Nabi B, dan lain sebagainya. Sejauh itu semua dilakukan untuk membantu manusia memahami akan adanya suatu ‘spirit’ yang begitu besar dan tak terpahami oleh keterbatasannya, maka segala teks itu akan membantu manusia dalam arah hidupnya. Permasalahan kemudian timbul ketika manusia justru lebih memercayai dan mendewakan teks-teks itu sendiri dan makin jauh melupakan ‘spirit’ di balik teks itu.
Dalam tarot, kita justru diajak untuk menemukan spirit itu. Tarot bukan sesuatu yang bersifat dogmatis. Tarot juga bukan sesuatu yang bersifat ego (pasti, definitif, utuh, fix) melainkan mengalir. Psikologi Tarot bukanlah psikologi Ego, melainkan Psikologi Liyan (Yang-Lain, the Other). Ia tak memperlakukan manusia semena-mena, ia tak menuduh manusia atau berusaha memasukkan manusia dalam definisi-definisi yang justru menghilangkan keunikan dan keberagaman manusia. Di sinilah letak kekuatan spiritual dari Tarot, atau Psikologi Tarot dalam konteks buku ini.
Seorang pewacana Tarot tidak berpretensi dirinya tahu segalanya melalui konsep-konsep psikologi. Ketika berhadapan dengan klien, seorang pewacana tarot melihat klien sebagai Yang-Lain. Apa itu Yang-Lain? Yang-Lain adalah sesuatu yang tak terbatas. Ada begitu luas kemungkinan dalam Yang-Lain sehingga ia tak bisa direduksi dalam teori-teori psikologi. Yang-Lain bukan Aku-Yang-Lain seperti sering dilakukan oleh psikologi ego. Para penganut psikologi ego, ketika berhadapan dengan klien akan cenderung mendefinisikan klien dan kehidupannya sesuai teori. Psikologi Tarot tidak demikian. Justru ketika berhadapan dengan Yang-Lain, maka terjadi penyatuan antara yang imanen dan yang transenden. Diri si pewacana keluar untuk menyelami kedalaman dari Yang-Lain. Sesuatu yang imanen, masuk dalam yang transenden, yang tak terbatas, yang bukan aku. Nah, di situlah sebenarnya kunci spiritualitas dari Tarot.
Inilah yang oleh Emmanuel Levinas disebut sebagai alteritas. Suatu sapaan yang bukan bertujuan untuk menjadi negasi dari konsep yang ada dalam diri, tapi mengundang “saya” untuk keluar dari imanensi dan mengalami “transendensi” bersama “Liyan”[1]. Manusia pada dasarnya terbentuk dari elemen yang sebenarnya adalah konsep-konsep yang pernah dipelajarinya. Konsep-konsep inilah yang digunakan untuk membangun diri dan kerapkali juga digunakan untuk memahami orang lain. Manusia terbenam dalam elemen-elemen ini seperti dijelaskan Jacques Lacan sebagai keterbenaman manusia dalam imaji-imaji yang membuatnya semakin terasing dari diri.
Namun bagi Levinas, elemen adalah suatu pra-kondisi bagi pemisahan subjek dari elemen. Subjek pada dasarnya tenggelam dalam ke-liyan-an (otherness) elemen-elemen yang dimasukkan dalam dirinya, membawa elemen-elemen itu ke dalam suatu rentang identitas dan kesamaan, sehingga bisa disimpulkan bahwa subjek hidup dari elemen-elemen itu[2]. Namun, ketika berjumpa dengan Liyan, maka manusia disapa dan diajak untuk keluar dari imanensi elemen-elemen dan masuk dalam transendensi, dalam sesuatu yang tak terbatas.
Ketika kita bisa melihat perjumpaan dengan Yang-Lain sebagai momen untuk menyelaminya, maka di situlah kebesaran kekuatan yang Ilahi akan ditemukan pula. Bukankah Yang-Ilahi itu adalah segala kemungkinan itu sendiri? Segala kemungkinan dalam hidup manusia? Segala kemungkinan yang hanya bisa diselami ketika kita terbuka untuk segala kemungkinan itu? Nah, dalam situasi seperti inilah yang Ilahi dan Transenden, turun menyatu dengan manusia yang imanen. Sesuatu yang terbatas (manusia, pewacana tarot) melihat klien sebagai Yang-Lain (Yang tak terbatas, Yang memiliki kemungkinan begitu luas), lalu yang terbatas ini keluar dari keterbatasannya untuk masuk ke dalam Yang-Tak Terbatas. Yang-Ilahi bukan sesuatu yang transenden di awang-awang sana, tapi menyatu dalam imanensi pada perjumpaan-perjumpaan dengan Yang-Lain dalam keseharian manusia. Perlu dicatat di sini bahwa setiap perjumpaan dengan orang lain, bukanlah kebetulan, artinya orang tersebut pasti membawa pesan bagi kita, sekaligus kita menyampaikan pesan juga bagi si orang itu.
Pesan itu hanya bisa tertangkap ketika kita tidak menempatkan orang-lain sebagai Aku-yang-Lain. Orang-Lain adalah sesuatu yang tak terbatas kemungkinannya, yang-bukan-aku. Itulah sebabnya walau keluar kartu yang sama untuk dua orang yang berbeda, maka interpretasinya akan berbeda. Inilah kunci dari spiritualitas tarot, menyelami Yang-Lain. Ketika kita mampu menyelami Yang-Lain, maka di situlah spiritualitas kehidupan juga akan berada dalam pencariannya. Spiritualitas bukan sesuatu yang mati, ia selalu hidup dan harus elalu dalam pencarian. Spiritualitas bukan dogma, karena spiritualitas dogmatis adalah spiritualitas yang mati. Tuhan yang dogmatis adalah tuhan-tuhan yang mati. Tuhan yang hidup ada dalam konteks kehidupan manusia, dalam perjumpaan-perjumpaan, dalam peristiwa-peristiwa, dan dalam kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga luasnya.
Tarot dan Tetragrammaton
Jika anda membaca sejarah mengenai sosok Ilahi (yang sering kita sebut pula Tuhan, Allah, dan sejenisnya) maka kita akan menemukan bahwa sosok itu, karena ke-maha-annya, tak bisa dijelaskan oleh manusia, bahkan menyebut namanyapun tidak bisa. Bangsa Israel menandai sosok ini dengan empat huruf (tetragrammaton); YHWH. Karena semua terdiri dari huruf mati, maka tidak bisa dibaca. Meski kemudian ada yang sedikit merubah sehingga bisa dibaca sebagai Jahweh atau Jehovah.
Kenapa empat huruf? Empat huruf menyimbolkan quarternitas, sebuah Mandala. Dalam Tarot juga terdiri dari empat elemen Wands, Cups, Swords, Pentacles. Jika dicermati, empat elemen ini juga berhubungan dengan empat huruf YHWH.
Huruf Y atau Yod bermakna tangan yang tebuka (open hand). Huruf itu sendiri secara aktual menyusun kembali suatu bara dan ini merepresentasikan radian energi unversal yang datang dari ketinggian menuju pada anda, membarakan proses kreasi. The Wands merepresentasikan anda menerima suatu inspirasi lalu merancang intensi anda untuk menggapai sesuatu hal tertentu[3].
Huruf H atau heh diasosiasikan dengan air dan lebih jauh adalah cups. Heh bermakna “jendela”. Cahaya dari bara memasuki jendela. Layaknya cups yang menunggu untuk diisi atau dibuahi dengan arus posibilitas kreatif dab perasaan yang mungkin dibangkitkan karenanya. Cups merepresentasikan anda mengimajinasikan dan memfantasikan mengenai berbagai bentuk suatu hal tertentu yang mungkin dibawa. Layaknya air yang terbawa dalam suatu wadah dan mengikuti bentuk wadah itu, maka imajinasi anda mengikuti apa yang anda pikirkan[4].
Huruf W atau vav diasosiasikan dengan udara dan lebih jauh adalah swords. Vav berarti kaitan (hook) atau link. Pedang (swords) memotong sesuatu menjadi potongan. Sebuah pedang juga memotong menembus suatu materi. Pedang sebenarnya mengaitkan antara dunia posibilitas kreatif dengan dunia bentuk manifes. Pedang merepresentasikan mental menganalisa, menguji, mereformulasi, merencanakan sesuatu, dan mencipta pola bagi apa yang telah tercipta sebelumnya[5]. Ini adalah unsur rasio yang meredusir sesuatu yang besar, agar mauk ke dalam pemahaman manusia yang terbatas. Tanpa diredusir, sesuatu yang besar itu tak akan terpahami oleh manusia yang pemahamannya terbatas.
Huruf H atau heh juga diasosiasikan dengan bumi dan lebih jauh dengan pentacles. Heh yang seperti dijelaskan sebelumnya bermakna “jendela”, maka ia juga bisa berfungsi terbuka dan tertutup. Pentacles merepresentasikan bagaimana anda bekerja dengan hal-hal bersifat fisik yang bisa membuatmu mencapai kemapanan dalam duniamu[6]. Pentacles dengan demikian terkait dengan apa yang bisa anda raba, sentuh, rasakan, lihat dengan pengindraan. Termasuk pula bagaimana anda mengambil posisi tertentu dalam budaya di mana anda terlempar agar anda memeroleh kemapanan.
Sampai di sini, kita telah menganalisa Tetragrammaton dan kaitannya dengan tarot. Lebih jauh lagi, kita bisa melihat bahwa Sang Ilahi yang tak terhingga itu, sebenarnya menyatu dalam kehidupan manusia. Sayangnya, manusia sering menempatkan-Nya jauh di awang-awang sana. Kosong dalam transendensinya. Tarot, sebenarnya mencoba mempertemukan kembali apa yang transenden itu dengan imanensi hidup manusia. Bahwa Tuhan, sang Kebenaran dalam hidup manusia itu sendiri, bukanlah kebenaran-kebenaran tekstual (baca dogmatis) seperti yang sering bisa disaksikan menjebak manusia untuk kehilangan kemanusiaannya itu. Tarot, sebenarnya bekerja mirip dengan apa yang diungkapkan Derrida dalam Dekosntruksi-nya.
Jacques Derrida, hadir dengan Dekonstruksinya untuk menantang segala totalitas makna, penafsiran, atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur, politik, dan pelbagai order of things yang ingin menata dunia ke dalam suatu sistem tunggal dan koheren[7]. Derrida memelajari pemikiran dari filsuf-filsuf dan menemukan ketidakkonsistenan dalam teks-teks pemikiran mereka. Dari titik ini, bisa ditarik bahwa pada segala hal yang tekstual, tak akan pernah ada makna yang stabil. Semua yang tekstual, bisa didekonstruksi. Dekonstruksi, berbeda dari destruksi; jika destruksi menghancurkan bangunan tapi masih memungkinkannya untuk membangun kembali, namun dekonstruksi tidak. Dekonstruksi menghancurkan tatanan dan membiarkannya mengambang serta tak mungkin dibangun kembali. Segala kebenaran pun, ketika diletakkan secara tekstual (atau sebatas konsep) akan selalu bisa didekonstruksi.
Derrida sebenarnya mengajak manusia untuk lebih ‘rendah hati’ dalam melakukan segala tafsir terhadap kebenaran. Bagi Derrida, tafsir-tafsir semacam itu, semestinya berangkat dari pemosisian diri sebagai yang tidak tahu apa-apa dan dari ketakberdayaan si penafsir untuk merangkum dunia yang sebegitu majemuk. Dalam tafsir yang ditulis dalam kesadaran akan kefanaan itu, tak ada lagi pengelevasian satu keyakinan kebenaran di atas yang lain; manusia sebagai penafsir, sepenuhnya tenggelam dalam kabut pekat dan selubung misteri akan kebenaran. Misteri inilah sebenarnya juga yang menjadi kesejatian hidup manusia, namun juga dalam misteri inilah segala kemungkinan kehidupan manusia dapat terjadi. Persoalannya, banyak manusia yang justru taj tahan berada dalam misteri ini dan tak berani menghadapinya. Mereka kemudian lari bersembunyi di balik logos-logos yang memberi ketentraman melalui kebenaran semu.
Dekonstruksi, lebih merupakan ajakan untuk tidak melihat “kebenaran” yang kita yakini sebagai satu-satunya kebenaran. Dekonstruksi mengajak bahwa kebenaran itu relatif karena ada begitu banyak kebenaran yang dapat dipilih manusia. Inilah yang seringkali tak disadari manusia. Maka tak heran kemudian orang bisa meledakkan berbagai tempat dan menimbulkan korban nyawa demi “kebenaran” yang diyakininya. Orang bahkan rela mati dengan bom bunuh diri demi sebuah “kebenaran” dalam diri yang sebenarnya sangat relatif. Sementara “kebenaran” yang diyakini orang yang satu kerapkali justru masih menjadi pertanyaan bagi orang lain. Manusia, yang dalam kesejatiannya selalu terobang-ambing dalam kesementaraan, memang akan selalu mencoba mencari “kebenaran” sebagai pegangan. Ironisnya, manusia tak menyadari bahwa kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang sama luasnya dengan manusia sehingga tak mungkin direduksi sebagai suatu yang bisa dipegang.
Dalam dekontruksi, ada prinsip yang barangkali tepat menggambarkan suasana di atas. Derrida meringkasnya dalam tiga kalimat berikut: sans savoir, sans voir, sans avoir (tidak mengetahui, tidak melihat, tidak memiliki). Sans savoir (tidak mengetahui) menggambarkan bahwa sebuah teks tidak selalu dapat ditangkap penafsir dalam totalitasnya. Dengan begitu ada kerendahan hati untuk mengakui bahwa penafsir tidak mempunyai otoritas pengetahuan aras penafsirannya. Dalam rangkaian proses yang infinit ini, penafsiran selalu berupa “penghampiran” terus-menerus atas kebenaran yang tidak pernah sampai pada totalitasnya (presque totalité)[8].
Sans voir (tidak melihat) mengisyaratkan sebuah keterbatasan indera dan penglihatan manusia akan kebenaran. Kebenaran adalah sebuah ekstasis ketakjuban manusia akan misteri yang berada di luar penglihatan normal. Manusia yang inderanya terbatas, dalam menginterpretasi kebenaran ia layaknya orang buta, si penafsir yang terlempar ke dalam ngarai tanpa dasar (Ab-grund) yang tak memungkinkannya membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang kokoh. Penafsiran akan selalu membias, tak stabil dan tak pernah selesai[9].
Lalu, sans avoir (tidak memiliki). Pada momen ini, kebenaran didevaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi berada di pangkuan penafsir, melainkan bergerak menyebar ke penafsiran-penafsiran lain yang beda[10]. Inilah sebabnya dalam sebuah pewacanaan Tarot, ketika satu kartu yang sama, memiliki kemungkinan penafsiran yang sama luasnya dengan jumlah manusia di dunia ini. Bahkan lebih luas lagi ketika penafsiran itu dihadapkan pada ketakterbatasan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa.
Ini karena Tarot bukan psikologi yang terjebak dalam bahasa verbal, dalam dalil-dalil seperti dalam PPDGJ. Tarot justru mengajarkan untuk melampaui bahasa verbal dan segala kelemahannya. Tarot tak akan mereduksi setiap klien dalam definisi-definisi yang telahd ibuat sebelumnya, meski ada arti nomotetis pada setiap simbol, namun pemaknaannya akan selalu idiosinkretis. Di sinilah sebenarnya kesejatian dari kebenaran itu.
Kebenaran yang dinyatakan dalam bahasa, tak akan menemui kesejatiannya sebagai kebenaran. Ia tak lebih sebagai bangunan yang tak pernah usai. Layaknya mitologi Menara Babel yang pembangunannya terhenti karena para pekerjanya memiliki bahasa yang berbeda-beda; seperti itupulalah kesejatian kebenaran; ia tak akan pernah secara utuh dibangun oleh bahasa. Kesejatian kebenaran ini bertemu dengan kesejatian manusia yang juga selalu berada dalam kesementaraan. Pada titik inilah pemikiran Nietzchean dan Dekonstruksi Derrida menemukan implikasinya. Manusia dan kebenaran selalu berada dalam kesementaraan dan perjalanan pencarian; namun justru dalam kesementaraan dan pencariannya itulah manusia dan kebenaran masih memiliki arti. Jika kesementaraan dan pencarian itu tak ada, maka sebenarnya manusia dan kebenaran telah mati.
Sayangnya, justru itulah yang saat ini tengah terjadi pada banyak manusia. Setiap hari manusia justru kehilangan kehidupannya dan mati dalam dogma-dogma ataupun klaim-klaim “kebenaran”. Dalam agama yang sama terdapat sejumlah aliran yang bertentangan satu sama lain dan sama-sama mengklaim dirinya sebagai “kebenaran” sejati. Dalam kehidupan masyarakat orang melukai orang lain dengan mengatasnamakan kebenaran yang diyakini. Berbagai iklan menawarkan klaim kebenaran melalui berbagai cara. Di dunia psikologi para psikolog membuat “kebenaran-kebenaran” sebagai “pembenaran” klaimnya atas manusia lain. Sekolah-sekolah menjadi ajang ritual memamah “kebenaran” melalui berbagai hegemoni yang dikonstruksi dalam pelajaran sejarah maupun moral. Seolah kebenaran itu objek atau benda mati yang bisa begitu saja dikuasai atau dibungkus dan dibawa ke mana-mana.
Padahal apa yang disebut Kebenaran dan kesalahan sejatinya selalu terapung-apung dalam gelombang interpretasi yang berusaha menjaga dan mengatur. Lalu apakah kebenaran manusia itu? Kebenaran adalah kesalahan manusia yang tak dapat dihindari. Kebenaran adalah kesalahan yang tak satupun manusia dapat hidup tanpanya[11]. Perubahan gaya dalam menginterpretasi kebenaranlah yang dibutuhkan manusia. Jika ada gaya dalam menginterpetasi kebenaran, maka gaya itu semestinya  plural sehingga manusia tak mati dalam universalitas dan keuniversalan keyakinan yang mengungkung. Kebenaran, hanya bisa didapatkan dengan cara melampaui “kebenaran”, yaitu dengan menghadapkan kebenaran itu dalam kemungkinan-kemungkinannya sendiri.
Tarot mengambil posisi untuk menawarkan sebuah “gaya” dalam penafsiran kebenaran. Penafsiran yang mengakomodasi pluralitas kebenaran itu sendiri, sehingga kebenaran itu hidup dan tumbuh berkembang dalam diri masing-masing manusia. Tarot juga memperlihatkan bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang Ilahi itu sendiri. Yang tak dapat dirangkum seenaknya dalam pengertian-pengertian manusiayang terbatas.  

Perjalanan hidup: pencarian dan spritualitas
Psikologi Tarot sebenarnya tak lepas dari psikologi perjalanan hidup yang di dalamnya terdapat pencarian dan spiritualitas. Psikologi semacam ini ada dalam diri setiap manusia, karena setiap manusia memiliki perjalanan hidup dan dalam perjalanan hidupnya selalu ada pencarian dan spritualitas. Bagaimana bentuknya, itu soal lain lagi dan justru di situlah peran psikologi tarot. Psikologi tarot, sebenarnya bekerja pada azas sinkronisitas. Apa itu sinkronisitas? Secara sederhana dapat kami katakan bahwa sinkronisitas bisa diartikan bahwa tak ada kebetulan di dunia ini. Seorang klien yang bertemu dengan seorang pewacana Tarot bukanlah sebuah kebetulan. Anda yang tengah membaca buku ini bukanlah kebetulan.
Lho? Di mana bukan kebetulannya? Begini, seperti saya jelaskan sebelumnya, setiap perjumpaan dengan orang lain, menyiratkan bahwa orang itu membawa pesan bagi anda dan andapun membawa pesan bagi orang lain. Perjumpaan dengan peristiwapun demikian, termasuk peristiwa membaca buku Psikologi tarot seperti yang tengah anda lakukan saat ini. Dalam setiap perjumpaan atau peristiwa itu, selalu ada pilihan, apapun bentuk pilihan itu dan konteks seperti apa pilihan itu dibuat. Inilah letak kebebasan manusia yang akan sanga dihargai dalam psikologi tarot. 
Manusia memang memiliki kebebasan memilih, dan justru pada pilihannyalah kualitas seorang manusia ditentukan. Pada kualitasnya itulah keber-Ada-an manusia. Ada dua pilihan untuk meng-Ada bagi manusia, yaitu To Be (menjadi) atau To Becoming (menjadi seperti, menjadi dalam suatu keselarasan dengan). To be adalah gambaran bagi mereka yang menemukan otentisitas dalam pilihan-pilihan hidupnya. Sebaliknya, to becoming adalah pilihan bagi mereka yang memilih mengikuti arus kepantasan, apa yang menjadi trend, tanpa memiliki pemaknaan atas apa yang dilakukannya. Keduanya adalah pilihan yang sah-sah saja.
Kualitas itu dengan demikian tak lepas dari konteks bagaimana manusia menghadapi pilihan-pilihan hidupnya, tak lepas pula dari bagaimana memahami secara mendalam hal-hal dalam hidupnya, bahkan hal yang sepintas tampak remeh sekalipun. Saya jadi teringat pada pemikiran James Redfield yang dituangkan dalam novel Celestine Prophecy. Wawasan pertama dalam Celestine Prophecy menjelaskan bahwa manusia hendaknya menyadari bahwa kehidupan merupakan perjalanan spiritual yang dibimbing oleh kebetulan-kebetulan misterius. Bahwa ada sesuatu yang mesti disadari dan dimaknakan di balik kejadian-kejadian kebetulan dalam hidup manusia. Suatu ketika, kita mungkin punya firasat atau intuisi mengenai sesuatu yang ingin kita lakukan, arah yang ingin kita tempuh, dan meragukan bahwa hal itu mungkin terjadi. Namun ketika kita telah agak lupa tentang hal itu, kita tiba-tiba bertemu seseorang atau membaca sesuatu atau pergi ke suatu tempat yang ternyata menuntun kita ke arah kesempatan yang kita impikan[12].
Wawasan pertama mengajarkan kepada kita bahwa ketika peristiwa-peristiwa dalam hidup dapat kita maknakan maka peristiwa-peristiwa itu akan menyemangati kita, sebaliknya bila peristiwa-peristiwa itu kita anggap sebagai sesuatu kebetulan belaka, maka peristiwa-peristiwa itu tidak dapat menyemangati hidup kita. Wawasan pertama merupakan kesadaran tentang peristiwa-peristiwa kebetulan yang misterius yang mengubah hidup seseorang, perasaan bahwa suatu proses yang lain tengah berlangsung[13].
Wawasan pertama mengajak manusia untuk tak melenyap dalam arus, dalam banalitas, namun lebih merenungkan hidupnya. Membuat pemaknaan-pemaknaan yang tak sekedar pra-reflektif melainkan masuk dalam tataran pemaknaan reflektif. Pemaknaan reflektif ini bisa dimulai dari peristiwa-peristiwa keseharian. Bahkan hal-hal yang sepertinya cuma kebetulan, maka tak salah jika kedalaman justru dapat ditemukan dari kedangkalan. Pada titik ini, manusia diajak untuk menyadari bahwa tak ada hal yang kebetulan. Hal-hal remeh, pertemuan-pertemuan, peristiwa keseharian, adalah hal-hal yang sebenarnya membawa pesan bagi pertumbuhan masing-masing manusia.
Martin Heidegger, mengungkapkan pemikiran bahwa barangsiapa mencari kedalaman, mulailah dengan yang dangkal-dangkal dan melihat kedangkalan dengan tatapan yang cermat dan dalam, maka kedalaman itu akan muncul dari hal-hal yang bersifat permukaan itu. Heidegger melihat bahwa manusia adalah entitas yang bergerak dalam pemahaman tentang Ada. Maka dalam keseharianpun, manusia dapat memetik pemahaman tentang Ada. Heidegger mengatakan ini dalam Sein an Zeit sebagai mistik keseharian, yaitu bersikap mistis dalam keseharian; yang berarti menghayati keseharian secara mendalam sampai ke dasar-dasar Ada kita sendiri, dengan cara menanyakan Ada[14].
Apa yang dimaksud dengan menanyakan Ada? Maksudnya tak lain adalah tidak sekedar menjalani hidup, melainkan bergumul dengan diri sendiri dan bertanya mengapa dia ada[15]. Di sinilah proses meng-Ada (Being) berlangsung, dalam suatu tataran yang reflektif terhadap apa saja yang ditemui di dunia ini. Manusia, memang akan larut dalam keseharian, mengambil identitas demi identitas, bergerak dalam jaman; tapi bukan itu yang penting, di atas itu semua, manusia tak boleh melenyap dalam pergerakan itu. Dalam keterseretan arus itu, manusia tak boleh tenggelam, apalagi mati; Manusia diajak untuk menyembul ke permukaan melalui perenungan-perenungan. Ini karena manusia seringkali larut dalam keseharian, larut dalam kegenitan tawaran-tawaran hal baru.
Nah, di sinilah kita baru melihat konteks seperti saya jelaskan dalam subjudul “Perjalanan Hidup: Pencarian dan Spritualitas”. Perjalanan hidup manusia sebenarnya adalah sebuah pencarian dan selalu memuat spritualitas. Perbedaannya terletak pada kedalaman dari pencarian dan spritualitas tersebut. Mengapa terjadi perbedaan kedalaman? Karena tak semua mampu menyelami secara mendalam hidupnya. Kenapa manusia tak bisa menyelami secara mendalam hidupnya? Karena mereka telah terbiasa memercayai sesuatu begitu saja, mengambil hal-hal secara taken-for-granted. Mengapa bisa demikian? Karena manusia terbiasa untuk hanya menggunakan hal-hal yang sifatnya logosentris seperti rasio, hati nurani, akal budi, iman, nalar, kemasukakalan dan sejenisnya. Hal-hal itu bukan sesuatu yang bisa dipersoalkan lagi karena ditempatkan secara absolut. Masalahnya tidak semua dalam hidup manusia bisa dijelaskan oleh hal-hal itu. Masalah lain, lagi, dalam banyak hal semua logosnetris itu justru membuat manusia tak menyadari kemungkinan lain di luar yang bisa dijelaskan olehs emua logos tersebut. Di sinilah peran psikologi Tarot. Melalui bahasa simbol yang ada, psikologi Tarot bisa melampaui semua hal-hal absolut itu dan membawa manusia pada samudera kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Bahkan Tuhan pun dalam ketakberhinggaannya tak akan bisa dipahami secara logosentris, namun justru harus tetap dipahami dalam ketakberhinggaannya, dalam kehadirannya pada hidup manusia melalui kemungkinan-kemungkinan hidup yang tak terbatas.



[1] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS; hal.150
[2] Immo Pekkarinen; The Many Faces of Woman-The Place of Woman in Emmanuel Levinas´s Totality and Infinity; retrieved 6 Oktober 2005 pukul 18.05 WIB; online documents: http://www.saunalahti.fi/immopek/elevinasa.htm
[3] Amber Jayanti; (2002); Tarot for Dummies; New york; Hungry Minds; hal. 109
[4] Amber Jayanti; (2002); Tarot for Dummies; New york; Hungry Minds; hal. 109
[5] Amber Jayanti; (2002); Tarot for Dummies; New york; Hungry Minds; hal. 109
[6] Amber Jayanti; (2002); Tarot for Dummies; New york; Hungry Minds; hal. 109
[7] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS; hal. 172
[8] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal. 174-175
[9] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal.175
[10] Muhammad Al-Fayyadl; (2005); Derrrida; Yogyakarta: LKIS ; Hal.176
[11] Gayatri Chakravorty Spivak; (2003); membaca pemikiran Jacques Derrida-Sebuah Pengantar; saduran Inyiak Ridwan Muzir; Yogyakarta:Arruzz; hal. 53
[12] James Redfield; (1998); The Celestine Prophecy – Manuskrip Celestine; saduran Alfons Taryadi, Jakarta:Penerbit Gramedia; hal.20-21.
[13] Ibid; hal. 42
[14] F. Budi Hardiman; (2003); Heidegger dan Mistik Keseharian – Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit; Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia; hal. 43
[15] Ibid ; hal. 46-47

No comments:

Post a Comment