Jul 11, 2012

Wacana Spiritualitas dan Gender

Sumber: Ebook “Setelah 2012 Lalu Apa?” oleh Leonardo Rimba

Wacana Spiritualitas dan Gender

T = Bang, buat notes tentang wacana poligami, agama,dan gender dong. Lagi butuh
banyak referensi nih. Makasih banyak ya bang.
J = Kalo butuh referensi tentang wacana spiritualitas dan gender, mungkin tulisan saya yg
berikut paling pas. Bikinnya juga paling lama, berminggu-minggu, karena saya harus
mengumpulkan polling pendapat dari banyak orang dan hasilnya, whether you like it or
not, seperti inilah:
+
Judul: Manusia Spiritual Post Modern
Oleh: Leonardo Rimba
Dipresentasikan dalam Seminar "Spiritualitas bagi Manusia Modern",
di Radio Sonora, Surabaya, 15 November 2008.
Post Modernisme memang cuma istilah saja, karena yg menentukan adalah paradigma yg
dipakai. Kalau paradigma yg dipakai adalah kesetaraan gender, maka era-nya adalah post
modern. Kalau paradigma yg dipakai adalah pria sebagai "kepala rumah tangga", maka
berarti itu masih di era modern.
Di era post modern, kepala rumah tangga bukan pria semata, melainkan siapa saja yg
mau dan bisa. Banyak rumah tangga di era post modern memiliki dua kepala.
Manusianya ada dua, maka kepalanya ada dua. Manusia dua orang yg mengepalai rumah
tangga itu bisa berjenis kelamin pria dan wanita, bisa juga pria dan pria, dan bisa juga
wanita dan wanita.
Segalanya bisa saja, dan eksplorasi hal seperti itu merupakan sebagian tantangan yg
dihadapi oleh mereka yg telah hidup di era post modern.
Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia ini post modern atau modern ? ... The
question could be asked in general, but the answer has got to be specific, karena kita akan
menjawab: tergantung.
Tergantung manusianya sendiri.
Kalau masih mau mengharapkan segalanya itu ditentukan oleh role playing dengan
mengikuti paradigma modern, maka artinya kita masih hidup di era modern. Kalau mau
mengikuti role playing dengan paradigma post modern, maka jadilah post modern. Post
modernitas ditentukan oleh kemauan. Kalau manusianya mau, maka jadilah itu.
Kalau mau menikah, ya menikahlah. Kalau tidak mau, ya tidak usahlah.
Dan itu berlaku bagi semua, baik pria maupun wanita.
Di era modern, yg namanya pilihan merupakan sesuatu yg merupakan kemewahan karena
semua orang akan bilang bahwa kita ditentukan. Segala pilihan di era modern itu
ditentukan. Cara berpakaian ditentukan, cara berbicara ditentukan, bahkan cara berpikir
juga ditentukan.
Tetapi post modern membalikkan paradigma itu dengan mengatakan bahwa segalanya itu
adalah pilihan.
Kalau seorang wanita merasa harus menikah, dan ternyata setelah menikah merasa bahwa
pilihannya itu salah, akhirnya si wanita akan bisa berbalik peran dan menjadi "pria",
dalam tanda kutip.
Artinya, secara simbolik menjalani peran sebagai seorang pria, atau menjadi maskulin.
Menjadi seorang single parent adalah perbuatan yg sangat maskulin, contohnya.
Banyak wanita yg single parent, sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Feminin
sekaligus maskulin walaupun, menurut saya sendiri, single parenthood itu lebih banyak
maskulinitasnya.
Pada pihak lain, banyak pula pria yg ternyata manja, mencari kasih sayang kemana-mana,
dari satu wanita ke wanita lainnya tanpa memperdulikan tanggung-jawab. Nah, kelakuan
seperti itu lebih banyak sifat feminin-nya walaupun manusianya itu sendiri straight dalam
orientasi seksualnya.
Walaupun 100% straight, kelakuan yg mencari tempat curahan hati dari satu wanita ke
wanita lainnya merupakan sifat yg feminin.
So, maskulinitas dan femininitas disini bukan merupakan sesuatu yg positif maupun
negatif, segalanya itu netral dan cuma merupakan kecenderungan saja.
Kalau cenderung untuk mandiri dan assertive, maka artinya lebih banyak maskulinnya.
Kalau cenderung cengeng dan mencari perhatian, maka cenderung feminin.
Nah, kalau pengertian jujur seperti itu yg kita pakai, maka akan tampaklah bahwa banyak
wanita yg lebih maskulin daripada pria. Dan banyak pula pria yg lebih feminin daripada
wanita.
Lalu akhirnya bagaimana ?
Akhirnya ya dijalani saja. Kalau seorang wanita enjoy untuk bersifat maskulin, ya jalani
sajalah. There is nothing wrong about that. Bahkan, sebenarnya hal seperti itu sudah ada
sejak jaman dahulu kala.
Dari dahulu banyak wanita yg lebih mandiri daripada pria, tetapi tidak diakui atau bahkan
ditekan oleh lingkungannya.
Sekarang juga masih.
Banyak wanita mandiri akan ditekan dengan segala macam cara oleh lingkungannya. Dan
itu normal saja. Lingkungan sekitar selalu akan merasa terancam oleh kemandirian
seorang wanita. Dan lingkungan yg terancam seperti itu menandakan bahwa itu adalah
lingkungan "modern".
Kalau wanitanya itu mau tunduk terhadap desakan lingkungan yg berargumen segala
macam, yg intinya bahwa wanita harus menerima "kodrat" blah blah blah... artinya
wanita itu masih hidup dalam lingkungan "modern" pula.
Kalau si wanita tidak mau menerima segala macam argumen berdasarkan "kodrat", dalam
tanda kutip, yg notebene merupakan ideologi bagi pria dan untuk pria dengan cara
mengorbankan wanita, maka si wanita akan jalan terus saja. Dia akan bilang so what gitu
lho !
Dan wanita yg seperti itu sudah cukup banyak di Indonesia, terutama di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dll.
Lalu, apakah sebenarnya kita sudah masuk era post modern ?
Sebenarnya sudah, tetapi tidak sekaligus. Era itu berganti melalui suatu proses, ada yg
berjalan. Ada yg sudah masuk, dan ada yg masih tertinggal. Ada yg tertinggal sedikit, dan
ada yg tertinggal banyak. Dan itu sah saja, normal saja. Kenapa harus memaksakan diri ?
Kalau diri sendiri merasa sudah berada di era post modern, ya jalan saja. Mengapa kita
harus mengkhotbahi orang lain yg masih harus berkutat dengan perjuangan gender, war
of the sexes blah blah blah yg sebenarnya tidak perlu. Tinggalkan saja, and live your own
lives.
Terakhir, apakah benar bahwa segala persepsi dan perilaku merupakan spiritualitas juga ?
Sure, of course. Memangnya spiritualitas itu apa menurut anda ?
Spiritualitas itu bukan agama, melainkan hal bagaimana kita menjalani hidup kita
masing-masing.
Segala sesuatu yg berkaitan dengan kesadaran kita sebagai manusia, jatuh bangun
kehidupan kita sebagai manusia, dan rasa koneksitas kita dengan sesuatu yg kita anggap
sebagai Allah (God in many of His/Her names) merupakan spiritualitas.
Dan spiritualitas tidak harus berkaitan dengan agama.
Kalau mau dikaitkan, tentu saja bisa. Kalau mau tidak dikaitkan juga bisa. Kalau mau
dilepaskan total dari agama juga bisa.
Inilah era post modern dimana spiritualitas bisa dilepaskan dari agama.
Di era modern, kebanyakan orang belum berani untuk melepaskan spiritualitas dari
agama karena takut akan kehilangan arah. Ternyata kita sekarang telah membuktikan
sendiri bahwa spiritualitas itu bisa (dan maybe harus) dilepaskan dari agama.
Post modernitas itu memiliki paradigma berupa 'pilihan (choice)'.
Banyak pilihan diberikan kepada kita, dan hal memilih merupakan ruang kelas bagi kita
untuk belajar menjadi manusia seutuhnya. Kalaupun harus utuh melalui jatuh bangun, ya
jatuh bangunlah. Bilang aja so what gitu lho!
Dalam tulisan ini saya mengambil contoh yg paling nyata dari spiritualitas post modern
yg, ternyata, merupakan issue tentang seksualitas.
Pandangan dan praktek manusia tentang seksualitas memperlihatkan sejauh mana
manusianya itu berada dalam kontinuum modern - post modern.
Kita sudah tahu bahwa akhirnya akan terjadi kesetaraan gender secara penuh dalam era
post modern, tetapi segalanya itu proses, dan tidak terjadi secara bersamaan. Ada yg
sudah sampai, dan ada yg masih berjalan ke arah sana dengan 1001 macam alasan.
Tidak ada yg benar atau salah disini, melainkan pilihan. Tergantung manusianya sendiri
mau yg mana. Dan hal memilih dan menjalani itu termasuk dalam spiritualitas dan, kalau
mau, bisa juga dilepaskan secara total dari agama dan tradisi karena sebenarnya hal ini
merupakan domain pribadi.
Di era post modern tetap masih ada bermacam ragam pegangan yg merupakan pilihan
bagi manusianya sendiri, termasuk agama.
Tetapi, kalau di masa lalu agama berhak memaksakan pendapatnya, maka di era post
modern tidak akan ada lagi pemaksaan.
Kalau mau beragama tertentu, itu sah saja. Kalau mau mengikuti syariat tertentu, itu juga
sah saja. Kalau tidak mau mengikuti suatu agamapun, itu juga bisa dilakukan. Agama
sebagai pegangan merupakan domain pribadi, dan bukan merupakan patokan untuk
memaksakan pendapat kepada orang lain.
Malahan, bisa saja pegangan itu diikuti sampai suatu saat oleh seseorang, dan bisa juga
pegangan itu akhirnya dibuang saja setelah dicoba dan ternyata tidak membawa hasil. So,
segalanya itu merupakan pilihan pribadi. Itu essensi dari spiritualitas di era post modern.
Tantangannya adalah menjalani segala pilihan yg tersedia tanpa perlu berkeluh-kesah.
We are mature individuals now and no longer kids as we used to be in the modern era.
Sebagian dari kita sudah masuk ke era post modern dimana orang bisa memiliki pendapat
apa saja. Tetapi hal seperti ini masih termasuk susah diterima, sebab agama di Indonesia
masih mengandalkan pada pemaksaan.
Jadi, ada lembaga yg merasa berhak menentukan apa isi dari agama itu. Apa yg menjadi
ajaran agama, dan apa yg tidak. Misalnya, MUI bilang bahwa Ahmadiyah itu bukan
Islam, dsb. Ada juga yg menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan karena dibilang sesat, dsb.
Nah, cara pandang seperti itu termasuk cara pandang "modern". Cara pandang "modern"
masih mengandalkan pada pemaksaan pendapat.
Pada pihak lain, cara pandang post modern bisa menerima segala perbedaan pendapat.
Misalnya, ada seorang professor wanita di UIN, Jakarta, yg bilang bahwa
homoseksualitas itu sesuai dengan Al Quran. Lalu, apakah si professor itu harus
digebukin ?
Kalau menurut Islam yg umum, maka si professor itu dikatakan sesat. Kalau menurut
spiritualitas post modern, maka pendapat si professor itu biasa saja. Perbedaan pendapat
yg dikemukakan oleh si professor itu malahan sangat dihargai. Dia memperoleh
penghargaan dimana-mana sebagai seorang Muslim yg menghormati HAM sebagai
anti-thesis dari Muslim tradisional yg diposisikan sebagai penginjak-injak HAM.
Dan penghargaan terhadap si professor UIN itu sah saja, valid saja, walaupun mereka yg
tradisional tetap saja tidak bisa menutup mulut mereka untuk mencaci maki si professor
sampai sekarang.
Nah, itulah beda antara modern dan post modern. Di masyarakat "modern", kebanyakan
orang masih berpegang pada yg dianggapnya sebagai pikiran maju karena bisa toleran
terhadap eksistensi orang lain yg berbeda, dengan syarat blah blah blah... Ada
syarat-syarat tertentu.
Tapi post modernitas itu berjalan jauh lebih maju lagi dengan bisa menerima segala
pendapat manusia lain. Cuma pendapat saja kok, ngapain diributin ? Yg namanya
pemaksaan pendapat tidak akan terjadi di masyarakat post modern.
Di Indonesia sendiri masih terjadi pemaksaan pendapat.
Anda sendiri masih bisa memaksakan pendapat; anda bisa bilang bahwa orang lain tidak
bisa memiliki pendapat bahwa Islam itu A, B, C, dsb karena menurut anda, Islam itu
cuma ada satu, dan ditentukan isinya oleh lembaga yg resmi.
Di masyarakat post modern, segala argumen seperti itu tidak berlaku lagi karena semua
orang tahu bahwa segalanya itu cuma pendapat belaka. Pendapat is opini pribadi, dan itu
bukan dogma.
Kalau orang mau mendogmakan pendapatnya sendiri, maka itu hak orang itu sendiri.
Kalau orang yg berbeda mau buat dogma yg lain, maka hal itu merupakan hak orang lain
itu sendiri juga.
Bahkan orang akan berhak membuat agama apapun walaupun perlu melihat dulu hak
cipta. Kalau ada hak cipta yg sudah terdaftar, berarti harus menggunakan nama lain.
Post modern artinya kita bisa menerima bahwa segala pendapat itu merupakan domain
pribadi. Merupakan HAM untuk berpendapat apa saja, termasuk dalam hal spiritual.
Saya ini menerima berbagai pendapat berbeda karena, menurut pendapat saya, semua
pendapat itu valid saja, dan berlaku bagi orangnya sendiri. So, anda bisa berpendapat A,
dan orang lain bisa berpendapat B, dan sebagainya, dan itu semua sah saja.
Saya selalu berpendapat bahwa apapun yg dipercayai oleh seseorang merupakan urusan
orang itu sendiri. Dengan kata lain, saya itu selalu non judgmental (tidak menghakimi).
Saya tidak akan bilang bahwa ini salah atau itu benar. Istilah yg saya pakai adalah valid
atau sah. Sah bagi manusianya sendiri, tetapi belum tentu sah bagi orang lain.
Kalau orangnya mau menganggap bahwa apa yg dipercayainya itu sebagai "kebenaran",
so be it. Malah saya akan memberikan tambahan berupa alternatif yg terbuka bagi diri
orang itu di jalur yg dipilih oleh orang itu sendiri.
Kalau orangnya itu akhirnya berubah, maka saya akan bilang bahwa itu valid juga.
Segalanya itu valid, tergantung dari orangnya sendiri.
Prinsip dasarnya adalah pilihan, kalau mau maka bisa dipilih, termasuk menanggung
segala macam konsekwensinya. Kalau tidak mau, maka masih ada pilihan lain.
Saya bisa memberikan pilihan lain sebagai saran belaka, kalau orangnya mau maka bisa
diambillah salah satu pilihan lain itu. Kalau orangnya tidak mau, maka tidak akan ada
pemaksaan.
Segalanya itu merupakan pilihan dengan tujuan kesehatan jiwa.
Kalau orangnya merasa dirinya sehat, maka dia bisa jalan terus saja tanpa berubah, dan
saya juga tidak akan berusaha untuk merubah orang walaupun menurut saya dia itu
sebenarnya hypocrite.
Hipokrisi atau kemunafikan itu marak sekali di Indonesia, tetapi itupun merupakan
pilihan.
Kalau orangnya merasa nyaman dengan situasi hipokrisi yg dijalaninya, maka saya tidak
akan memberikan solusi apapun.
Kesehatan jiwa itu penting lho. Termasuk disini adalah jatuh bangun dalam perjalanan
seseorang sehingga bisa juga jatuh menjadi "gila" (dalam tanda kutip). Setelah "gila"
akhirnya menjadi "waras", dan begitu berulang kali.
Nah, saya sendiri tidak menghakimi orang lain. Kalau orang mau menjadi "gila", maka
itu urusan orang itu sendiri. Kalau mau "waras", maka itu juga urusan orang itu sendiri.
Dan semuanya itu termasuk yg namanya spiritualitas post modern karena kita ini tidak
menghakimi manusia.
Spiritualitas modern itu masih menghakimi orang dengan mengatakan suatu hal sebagai
"benar" dan hal lainnya sebagai "salah".
Dalam spiritualitas post modern, yg namanya "benar" atau "salah" itu relatif, tergantung
orangnya sendiri. Kalau orang merasa "benar", maka benarlah dia. Kalau orang merasa
"salah", maka salahlah dia.
Dan segala penetapan "benar" atau "salah" itu berada di domain pribadi, dan bukan
berada di segala macam institusi keagamaan.
Kalau masih mau mengandalkan institusi keagamaan sebagai penentu kebenaran atau
kesalahan, maka hal itu bisa dilakukan juga, kalau orangnya mau. Yg menentukan tetap
manusianya sendiri.
Kalau orangnya tidak mau menerima definisi "benar" dan "salah" yg diberikan oleh
institusi keagamaan (bisa juga berasal dari institusi tradisi), maka orang itu bisa saja jalan
terus sendiri. It's his or her own life.
Dan itulah essensi dari spiritualitas post modern. Kita menentukan sendiri apa yg kita
anggap benar dan salah demi kesehatan jiwa kita sendiri.
Saya ini punya prinsip bahwa kalau tidak ditanya maka saya tidak akan bicara. Saya bisa
tahu bahwa seseorang itu sebenarnya "sakit" jiwanya, tapi kalau saya tidak ditanya, maka
saya akan diam saja. It's his or her own privacy.
Kalau ditanya, maka saya akan menjawab. Dan saya akan menjawab sesuai dengan belief
system dari orang itu sendiri.
Kalau orangnya ternyata menggunakan belief system dari suatu tradisi tertentu, maka
saya akan memberikan solusi yg sesuai dengan belief system orang itu sendiri. Tidak ada
panacea disini.
Panacea itu obat yg bisa mengobati segala macam penyakit, dan secara praktis yg seperti
itu tidak ada. Karena kita mengikuti belief system manusianya sendiri, maka solusi bagi
satu orang tidak otomatis akan merupakan solusi bagi orang lainnya, walaupun situasinya
itu mirip. Jadi, perlu ada adjustments atau penyesuaian juga.
Yg paling penting itu kesehatan jiwa. Dan itu tidak gampang lho. Kalau orangnya sudah
merasa comfortable dengan keadaannya sendiri, maka biarlah orang itu terus berjalan,
apapun yg dipercayainya.
kalau orangnya merasa "sakit" dan meminta bantuan, barulah kita bisa masuk dengan
menggunakan belief system dari orang itu sendiri.
Kalau ternyata ada belief system yg sudah tidak sesuai tapi masih tetap dipaksakan, maka
kita juga bisa sedikit demi sedikit memandu si manusia itu untuk bisa melihat dengan
jelas. Kita akan bisa menjelaskan bahwa segalanya itu pilihan, dan masih ada alternatif
lainnya yg bisa diambil, kalau orang itu mau.
Selanjutnya segalanya akan tergantung dari orang itu sendiri, yg harus memutuskan
sendiri. Kita tidak bisa memilihkan dan memutuskan sesuatu untuk orang lain. Orang itu
sendirilah yg harus memutuskan dan menjalaninya sendiri.
Lalu apa sih arti dari spiritualitas itu sendiri ?
In my humble opinion, yg namanya spiritualitas itu tidak lain dan tidak bukan merupakan
istilah saja.
Jaman dahulu namanya 'kebatinan'. Spirit = Batin = Roh. So, bisa juga disebut sebagai
'kerohanian'. Rohani = Batin = Spirit. Kerohanian = Kebatinan = Spiritualitas.
Itu cuma gothak gathik secara umum saja tanpa berusaha untuk meribetkan diri dengan
segala macam definisi dan pemilah-milahan dengan tujuan tertentu yg, biasanya, untuk
membela suatu macam tradisi (agama) dan mendiskreditkan tradisi (agama) yg berbeda.
Menurut saya sendiri tidak ada gunanya untuk berputar-putar di sekitar definisi dan
peristilahan yg tidak akan membawa kita kemana-mana, melainkan cuma mumet belaka
tanpa tahu sebenarnya apa itu kepalanya dan apa buntutnya.
So, saya ini selalu berpendapat bahwa apapun kepercayaan manusia itu selalu valid bagi
manusianya sendiri. Saya tidak akan bilang bahwa agama atau tradisi A itu "benar", dan
agama atau tradisi B itu "salah".
Salah dan benar merupakan persepsi saja, cara pandang belaka dan, kalau sudah
melibatkan institusi agama dan tradisi, maka bisa juga bersifat politik.
Politik itu rekayasa, ada hal-hal yg diputar-balikkan demi menggalang suara masyarakat
untuk memilih atau tidak memilih suatu institusi. Dan kalau sudah bersifat rekayasa maka
artinya bukan spiritualitas melainkan cakar-cakaran belaka.
Semua berteriak bahwa agamanya atau tradisinya yg paling benar, semua merasa dirinya
itu nomor satu. Dan, secara guyonan, sering saya bilang bahwa kalau sudah seperti itu
namanya 'jualan kecap'.
Semua merek kecap itu bilang bahwa kecapnya nomor satu. So, tidak ada bedanya
dengan agama atau tradisi yg mengiklankan diri sebagai yg paling benar dan nomor satu.
Itu sindrom kecap, dan itu bukan spiritualitas.
Spiritualitas post modern itu merupakan nama lain dari spiritualitas plural atau majemuk.
Kenapa plural ? Karena kita ini memiliki banyak ragam penghayatan spiritualitas
manusia dan semuanya itu valid.
Ada yg namanya ritual, ada yg namanya tradisi, ada yg namanya kitab yg disucikan, dan
kita bisa mengambil dari tradisi apapun tanpa harus merasa risih.
Saya sendiri selalu meditasi dengan menggunakan doa-doa yg berasal dari bermacam
tradisi agama. Meditasi itu doa juga, walaupun bisa dengan postur bersila. Bahasa
Indonesia-nya itu tapa. Meditasi itu tapa, dan itu doa juga walaupun biasanya tidak
berisikan segala macam permohonan.
Kalau mau memohon, ya bisa saja. Kalau tidak mau, ya bisa juga. Segalanya itu bisa.
Kalau mau meditasi, ya meditasi sajalah dengan menggunakan doa apa saja. Pilih doa yg
disukai untuk meditasi, dan setelah itu meditasi saja.
Kalau tidak mau pakai doa juga bisa. Kita diam saja, dengan sikap ikhlas dan pasrah, dan
konsentrasi di titik antara kedua alis mata, yg biasa disebut sebagai cakra mata ketiga
atau ajna.
Apa yg lalu muncul di dalam kesadaran atau consciousness di diri kita merupakan intuisi.
Kita akan merasa bahwa jalan yg kita ambil sudah benar atau masih harus diperbaiki.
Kita akan merasa bahwa mereka yg memperjuangkan HAM (Hak Azasi Manusia) itu
ternyata benar, walaupun sering dicaci-maki oleh mereka yg merasa 'kebakaran jenggot'
karena praktek mereka ternyata dinilai sudah tidak sesuai dengan jaman.
Kita akan merasa bahwa sebenarnya wanita memiliki kemampuan yg paling tidak setara
dengan pria, dan bahwa sudah tidak pantas kalau kita sebagai masyarakat tetap
meneruskan praktek lama mendudukkan wanita sebagai 'pelayan pria'.
Dan semua pengertian itu akan muncul sendiri di batin / roh / spirit / kesadaran /
consciousness yg ada di diri kita.
Nah, segala hal yg muncul itu bisa disebut sebagai intuisi. Bisa pula disebut sebagai
hikmat. Dan semuanya itu bisa kita terima saja.
Kalau kemudian kita mau berubah, maka kita bisa berubah. Kalau kita tidak mau
berubah, maka tidak usah berubahlah.
Tidak ada pemaksaan disini. Segalanya itu merupakan pilihan. Pilihan berarti memilih
dan menanggung segala konsekwensinya.
Kalau kita memilih menjadi diri sendiri saja, maka segala konsekwensinya kita juga yg
akan tanggung. Kalau kita memilih untuk kompromi dengan lingkungan yg masih
berpegang pada tradisi, maka konsekwensinya juga kita yg akan tanggung.
Inti dari segalanya itu adalah pilihan sebagai ant-ithesis dari pemaksaan.
Tidak ada pemaksaan dalam era post modern, segalanya itu merupakan pilihan.
Kalaupun orangnya itu complain bahwa dirinya tidak bisa memilih, melainkan harus
mengikuti, itupun merupakan pilihan. Mengikuti tuntutan lingkungan termasuk pilihan
juga.
Sebagai illustrasi, anda bisa saja berpendapat bahwa orang perlu mengikuti apa yg
diajarkan oleh institusi agama atau tradisi tertentu. Tetapi ada orang lain yg tidak
berpendapat seperti itu So, akhirnya segalanya itu valid saja.
Jadi, apa yg anda bilang tidak bisa itu merupakan suatu hal yg valid. Valid bagi siapa ?
Ya, bagi anda sendiri dong. Itu essensi dari spiritualitas post modern menurut saya.
Jadi, kita masih bisa bilang "halal" dan "haram" disini. Tetapi, segala kehalalan dan
keharaman itu berlaku bagi diri kita sendiri dan bukan bagi orang lain.
Kita bisa saja mencoba untuk memaksakan pendapat kita kepada orang lain, tetapi orang
lain juga bisa bilang "no thankyou".
Barangkali akan ada juga yg mau berdebat panjang lebar dengan anda ketika anda
berusaha untuk memaksakan pendapat anda.
Saya sendiri akan selalu menyarankan orang untuk jalan terus saja. Apapun yg orang lain
katakan selalu berlaku bagi orang itu sendiri, termasuk segala macam kehalalan dan
keharamannya.
Walaupun orang itu ngotot bahwa kita harus begini atau begitu, sebenarnya hal ngotot
mengotot itu cuma berlaku bagi diri orang itu sendiri dan bukan bagi orang lain.
So, akhirnya kalau kita bertemu dengan orang yg ngotot memaksakan pendapatnya, kita
cukup bilang "no thankyou".
Jalan saja, tinggalkan saja orang itu dengan pendapatnya sendiri yg valid bagi orang itu
sendiri. Itu yg namanya spiritualitas plural.
Spiritualitas plural itu artinya kita mengakui bahwa tiap orang berhak untuk kultivasi
apapun yg dipercayainya. Yg valid itu hak bagi manusia untuk kultivasi apapun yg
dipercayainya, termasuk bilang halal dan haram.
Tetapi, apakah hal haram dan halal itu "benar" atau "salah" is another thing. Disini kita
tidak mempersoalkan tentang hal "benar" atau "salah" yg selalu relatif. Relatiflah,
tergantung orangnya sendiri.
Kalau orangnya itu bilang halal, maka halallah itu. Kalau orangnya bilang haram, maka
haramlah itu.
Tetapi, apa yg halal buat orang lain belum tentu merupakan hal yg halal bagi kita. Apa yg
orang lain bilang haram, belum tentu merupakan hal yg haram bagi kita.
Post modernitas bisa menerima pluralisme dalam spiritualitas.
Pluralisme itu perbedaan pendapat, dan segalanya itu bisa diterima dengan baik-baik saja.
Kalaupun pemaksaan pendapat tidak bisa dihindari, kita juga sudah tahu cara
menghadapinya, yaitu ditinggal saja.
Tinggalkan saja segala macam orang yg mau memaksakan pendapatnya kepada kita
karena kita juga tahu bahwa mereka tidak akan bisa berbuat apapun.
Apapun yg kita lakukan dengan hidup kita merupakan pilihan bagi kita. Kita yg
mengambil keputusan, dan kita juga yg menerima segala konsekwensinya.
Di masa "modern" masih ada pemaksaan tentang hal yg "benar" dan yg "salah". Di masa
Post modern, segalanya itu diterima sebagai hal yg relatif.
Kita sudah lebih dewasa daripada manusia di masa lalu yg masih membutuhkan
pegangan tertentu yg menentukan "benar" ataupun "salah".
Di masa post modern, kita juga masih bisa berpatokan kepada agama / tradisi tertentu. Itu
bisa dan sah saja. Tetapi, kalau kita mau meninggalkan agama / tradisi, maka itu juga bisa
dilakukan.
Segalanya tergantung dari diri kita sendiri.
Di masa "modern", kita mungkin akan merasa terpaksa karena ada orang tertentu yg
memaksa dengan segala cara supaya kita masuk dalam satu kategori tertentu yg bisa
diatur. Kalau kita dimasukkan dalam kategori A, maka blah blah blah... Kalau kita
dimasukkan ke dalam kategori B, maka blah blah blah...
Tetapi, di masa post modern, kita memiliki kesempatan untuk bilang "no thankyou".
Bilang saja terima kasih kepada mereka yg menawarkan dengan setengah memaksa.
Bilang saja bahwa kita tidak tertarik untuk mengikuti segala penalaran mereka karena
kita memiliki pengertian tersendiri, yg kita jalani dengan aman-aman saja, dan kita
merasa bahagia dengan pilihan itu.
Spiritualitas itu bukan catatan di kelurahan, jadi tentu saja anda akan bingung kalau ingin
menemukan kategori seperti tertera di dalam KTP.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam era post modern yg namanya spiritualitas itu
ditentukan oleh manusianya sendiri.
Walaupun anda tidak menggunakan mata ketiga, apapun yg anda percayai dan katakan
itu sah saja.
Inilah paradigma bagi spiritualitas di era post modern yg, sekali lagi, bukan catatan di
kelurahan sehingga, kalaupun anda masih bingung anda tidak akan kena sanksi apapun.
Segalanya itu oke saja, baik-baik saja.
Spiritualitas di era post modern adalah pengertian bahwa segalanya itu merupakan
pilihan.
Ada banyak tantangan yg, antara lain berasal dari orang yg masih bingung dan mau
memaksakan pendapatnya agar manusia lain "tertib" masuk dalam kategori agama yg
ada.
Pedahal, banyak dari kita sudah merasa gerah dengan segala macam ajaran maupun
praktek di dalam agama yg ada sehingga akhirnya kita membuat "agama" sendiri saja.
Di dalam era "modern", membuat agama sendiri dibilang sebagai sesat. Dalam era post
modern, segala sesuatunya itu dimungkinkan. Kita bisa tailor-made membuat apapun yg
kita percayai, dan kita sendiri yg menjalaninya.
Kita bertanggung-jawab terhadap apapun yg kita percayai dan jalani yg, sebenarnya,
lebih jujur daripada membeo segala ucapan orang lain yg jelas sudah tidak relevan
dengan apa yg kita butuhkan.
Manusia itu bergerak semakin lama semakin menjadi insan yg rohaniah atau spiritual.
Bergeraknya itu bukan ke arah agama institusional, tetapi ke dalam praktek menghayati
spiritualitas masing-masing. Kultivasi spiritualitas itu bermacam ragam prakteknya, dan
segalanya itu valid walaupun orang-orang yg masih mau berpegang kepada agama
"resmi" akan merasa seperti kebakaran jenggot.
Tidak ada yg asli benar ataupun salah disini, semuanya itu relatif.
Kalaupun ada yg memaksakan pendapatnya, maka kita juga berhak untuk curiga bahwa
ada motif tertentu di sana, yg sebenarnya merupakan urusan dari orang itu sendiri.
Secara praktis, kita ini tidak bisa mengurusi orang lain. So, paling jauh kita cuma bisa
bilang "no thankyou" untuk segala pemaksaan pendapat. Kita jalan sendiri saja untuk
kultivasi spiritualitas kita masing-masing di era post modern ini. Bisa juga kita sharing
dengan mereka yg memiliki pandangan serupa.
Kita tidak akan berusaha untuk memaksakan pendapat kita kepada orang lain, dan kita
juga tidak akan menanggapi segala pemaksaan pendapat itu. Spiritualitas kok
dipaksakan?
Pendapat apapun yg anda yakini tentang spiritualitas itu tidak salah. Teruskan saja. You
are entitled to that opinion. Itu pendapat anda yg sah / valid dan berlaku bagi diri anda
sendiri. Itu merupakan salah satu alternatif, kalau mau diambil ya bisa saja and vice
versa.
Kalau suatu saat anda mau berubah, ya berubah saja. Kalau ternyata anda mau tetap
memegang pendapat itu, ya pegang saja.
Itulah essensi dari spiritualitas post modern, yaitu kita menentukan jenis spiritualitas apa
yg akan kita kultivasikan. Kita menjadi diri sendiri saja tanpa perlu ikut-ikutan orang
lain. Kalau mau ikut-ikutan juga boleh, it's one of the choices.
Tapi kalau tidak mau ikut-ikutan, dan mau membuat suatu sinthesis sendiri juga bisa.
So, apapun yg anda pahami dan praktekkan, yakinlah bahwa anda itu tidak salah. Selama
anda bisa merasa sehat secara psikologis atau spiritual (whatever that means), ya jalan
saja dengan pendapat anda itu. It's your own life and nobody else's !
Kurang lebih seperti itulah prinsip universalitas yg diterapkan dalam era post modern.
Kita menjadi orang universal artinya kita bisa menerima orang lain apa adanya saja, tanpa
mengharapkan untuk dihormati blah blah blah seperti biasanya dituntut oleh orang yg
mengikuti tradisi tertentu.
Opini yg merasa ingin dihormati itu cuma pendapat belaka, dan pendapat selalu
didasarkan pada persepsi atau sudut pandang. Memandangnya dari sudut mana, maka
jadilah sudut pandang atau persepsi itu.
Kalau ternyata sudut pandangnya itu sempit karena di depan matanya banyak balok kayu,
maka akibatnya orangnya akan merasa kebakaran jenggot. Pedahal, balok kayu itu
adanya di mata orang itu sendiri.
Saya bilang please look out from your eyes fresh without any prejudice, tanpa segala
macam prasangka. Sebagian orang bisa untuk melakukan hal itu, sebagian lagi cukup
bisa, dan sebagian lagi tidak bisa. Lalu saya akan bagaimana ?
Saya akan biasa saja. Wong itu urusan orangnya sendiri kok.
Kalau orangnya bisa melihat jelas, ya syukur alhamdulilah. Kalau orangnya ternyata
tidak bisa melihat jelas, ya syukur alhamdulilah juga. So what gitu lho!
Tidak ada salah ataupun benar disini, melainkan pilihan.
Ada orang yg mau bertahan pada satu pegangan sehingga sedikit-sedikit merasa
tersinggung. Kalau orang tersinggung, maka itu merupakan masalah di orang itu sendiri.
Pegangannya terlalu gede sehingga gede tersinggung juga. Kalau tidak memegang
apapun seperti saya, apa yg bisa disinggung?
Kesimpulan saya: spiritualitas di era post modern adalah pilihan yg terbuka.
Apapun bisa untuk dipilih dan dijalani oleh manusianya tanpa kita perlu merasa risih atas
pilihan yg diambil oleh orang lain. Spiritualitas adalah urusan pribadi dari setiap manusia,
dan bukan untuk diperdebatkan kebenaran atau ketidak-benarannya.
Malah, saya sendiri bilang bahwa segala yg dipercayai manusia itu valid atau sah saja,
karena berlaku bagi dirinya sendiri.
Dalam era post modern banyak juga terjadi re-introduksi nilai tradisional yg dikaji
kembali dan diberikan pemahaman baru.
Gerakan New Age yg muncul di Barat dan sekarang sudah makin marak juga di
Indonesia sebenarnya bukan membawakan sesuatu yg baru, melainkan lama.
Segala spiritualitas yg dianggap eksotik di Barat dianggap sebagai bagian dari New Age,
pedahal di tempat aslinya mereka semua merupakan hal yg lama. Sebenarnya harusnya
disebut sebagai Old Age tetapi, bukannya disebut Old Age malahan disebut
kebalikannya, yaitu New Age.
Jadi, spiritualitas "Old Age" akhirnya di re-introduksi dan di beri nama baru sebagai
"New Age".
Pemahaman spiritual yg berasal dari Indonesia seperti Kejawen dalam berbagai alirannya
akhirnya dianggap sebagai bagian dari spiritualitas "New Age" oleh mereka yg tinggal di
Barat.
Kita sendiri sampai sekarang tidak menganggap kepercayaan tradisional Indonesia
sebagai "New Age" atau bagian dari spiritualitas post modern. Tetapi di Barat ternyata
kepercayaan tradisional Indonesia dianggap termasuk sebagai spiritualitas post modern.
Spiritualitas post modern bisa juga berarti hal-hal yg berasal dari tradisi non
Judeo-Christian.
Aliran-aliran kepercayaan dari India, Cina, Jepang, Indonesia, dll dianggap New Age
karena bukan merupakan bagian dari tradisi Judeo-Christian. Dianggap "new" juga
karena diasumsikan bahwa kepercayaan asli dari Asia itu bersifat toleran sebagai
anti-thesis dari tradisi Judeo-Christian yg tidak toleran.
Spiritualitas post modern itu sangat toleran. Manusia bisa dan berhak percaya apapun yg
ingin dipercayainya.
Tradisi Judeo-Christian tidak seperti itu. Aslinya tradisi Judeo-Christian itu sangat tidak
toleran terhadap perbedaan pendapat. Tetapi bagi mereka yg sudah hidup di masa post
modern, era Judeo-Christian sudah berlalu.
Sekarang sudah masuk era post modern dimana yg menjadi paradigma adalah toleransi.
Kita bisa toleran terhadap apapun yg mau dipercayai dan dipraktekkan
oleh orang lain.
Segalanya itu valid bagi manusianya sendiri.

No comments:

Post a Comment