Yg sangat menarik adalah penjelasan gamblang dari Mbah Chodjim bahwa agama adalah
alat dari penguasa sejak jaman dahulu kala. Itu benar. Bukan hanya di Jawa, melainkan di
semua tempat di muka bumi ini. Dan para penguasa itu menggunakan para ulama untuk
memaksakan berjalannya sistem feodalisme di masa lalu. Sampai saat ini bahkan masih
ada penguasa yg menggunakan agama dan para ulamanya sebagai alat kekuasaan.
Ada simbiosis mutualisma antara penguasa dan ulama.
Ketika itu terjadi, maka yg rugi adalah masyarakat umum seperti kita semua yg akan
menjadi sapi perah belaka, pedahal jelas kita bukan sapi melainkan manusia. Kita
manusia yg bisa berpiikir dan menentukan sendiri apa yg kita inginkan dalam hidup.
Penguasa membutuhkan tenaga dan uang dari kita demi kelanggengan kekuasaan mereka.
Dan ulama membutuhkan tenaga dan uang dari kita juga untuk melanggengkan
kedudukan mereka sebagai ulama. Cocok bukan? Dan ber-simbiosis mutualisma lah
mereka.
Tetapi sejak abad pencerahan di Eropa, mulailah ditelanjangi segala kebobrokan dalam
simbiosis mutualisma antara penguasa dan ulama. Abad pencerahan di Eropa itu sejaman
dengan masa hidup Syekh Siti Jenar di Jawa. Apa yg dicapai di Eropa ternyata bisa
dicapai juga oleh manusia nusantara. Banyak manusia yg dipenggal dan dibakar
hidup-hidup oleh gereja di Eropa. Kesalahannya kurang lebih sama dengan Syech Siti
Jenar, yaitu mereka mencoba menggunakan otak mereka untuk berpikir.
Kalau kita menggunakan otak untuk berpikir, maka simbiosis mutualisma antara
penguasa dan ulama akan ambruk. Di Eropa Barat sekarang ini sudah tidak ada lagi
penipuan massal atas nama agama. Tetapi di Indonesia masih ada, at least masih
diupayakan oleh sebagian ulama. Untungnya banyak dari kita sudah sadar bahwa kita
memiliki HAM.
Dan HAMyg dimiliki oleh kita tidak lebih dan tidak kurang daripada HAM yg dimiliki
oleh penguasa politik dan ulama. Kalau penguasa dan ulama bisa berbicara, kita juga bisa
berbicara. Bicara saja!
Penjelasan tentang paralelisme antara sejarah Eropa Barat dan Syekh Siti Jenar di
beberapa alinea di atas bukan dari Achmad Chodjim melainkan dari saya pribadi. Intinya
adalah saya melihat dalam penjelasan Achmad Chodjim sesuatu yg paralel dengan
pengertian saya selama ini, yaitu bahwa kita manusia di mana-mana memang tidak ada
bedanya.
Ada paralelisme dalam pola berpikirmanusia di Eropa Barat dan di Jawa 500 tahun lalu.
Eropa Barat mengalami Abad Pencerahan, dan kita di Jawa memiliki Syekh Siti Jenar yg
walaupun didzolimi oleh para ulama yg berkoalisi dengan penguasa, tetap saja memiliki
ribuan pengikut di seluruh nusantara sampai saat ini.
Segala macam simbol yg digunakan oleh agama itu memiliki essensi yg jauh sekali dari
pengertian yg mau dipaksakan oleh para ulama, terutama ulama yg berkoalisi dengan
penguasa. Kita tahu bahwa sampai sekarang masih ada ulama di Indonesia yg jualan
Tuhan agar bisa memperoleh kekuasaan politik. Setelah memperoleh kekuasaan politik,
mereka akan membuat segala macam syariat agar menjadi hukum positif dengan alasan
Allah yg suruh. Allah yg mana?
Pembodohan massal, pembodohan massal, said Jibril to me secara incognito.
Tuhan itu cuma konsep saja, said Jibril dengan terbuka tanpa malu-malu. Biarpun
mungkin ada ulama yg ikut membaca note ini, Jibril tidak malu-malu untuk bilang bahwa
Tuhan cuma konsep saja.
Nabi-nabi itu juga manusia biasa saja, tidak ada bedanya dengan anda dan saya.
Dan bahkan diriku sendiri juga cuma simbol belaka, tambah Jibril. Setelah itu Jibril pergi,
terbang ke atas langit karena Jibril kan punya sayap.
sumber: Ebook 'Setelah 2012 Lalu Apa?' oleh Leonardo Rimba
No comments:
Post a Comment