May 15, 2013

Tradisi Judeo-Christian

by Leonardo Rimba Kedua (Notes) on Saturday, May 4, 2013 at 9:57am

Tradisi Judeo-Christian, artinya Yahudi-Kristen, digunakan untuk merujuk hasil budaya 2,000 tahun terakhir di masyarakat Barat. Mereka umumnya beragama Kristen. Dan karena Kristen berasal dari agama Yahudi, maka pernak-pernik kebudayaan Barat dan berbagai aspeknya sering disebut sebagai Judeo-Christian. Islam tidak dimasukkan karena dianggap bukan bagian dari budaya di masyarakat Barat. Itu definisi dari Joko Tingtong sendiri. Pengertiannya seperti itu, dan dia merasa tidak perlu mencari referensi lagi. Joko tidak pernah menulis pakai referensi.

Di Indonesia yg lebih kerap dipakai adalah istilah samawi, artinya berasal dari sumber yg serupa. Tapi jarang sekali disebutkan bahwa sumber yg sama itu adalah Judeo-Christian. Yahudi-Kristen. Islam juga bersumber dari budaya Yahudi-Kristen. Tetapi di Indonesia sering dikaburkan, seolah-olah Islam muncul begitu saja. Tidak ada hujan dan angin, tiba-tiba muncul. Tentu saja tidak benar. Islam muncul dalam konteks agama Yahudi dan Kristen di Timur Tengah. Bukan Yahudi-Kristen di Eropa, melainkan di Timur Tengah. Yahudi-Kristen di Eropa lebih banyak punya warna Latin atau kebudayaan Romawi. Sedangkan Yahudi-Kristen di Timur Tengah lebih banyak punya warna Yunani. Makanya Islam tampil sedikit beda, lebih banyak Yunani daripada Romawinya. Pedahal umumnya sama saja. Romawi juga berakar di budaya Yunani. Jadi, kalau mau diurutkan, maka asal-usul Yahudi, Kristen dan Islam yg paling asal adalah budaya Yunani itu. Cara berpikir ala filsuf Yunani. Istilah-istilah berbahasa Yunani yg sudah diterjemahkan ke bahasa Ibrani, Latin dan Arab sangat marak di ketiga agama itu, sehingga tidak dikenali lagi asal-usulnya. Disebut Judeo-Christian kalau di Eropa, dan disebut samawi kalau di Indonesia.

Mungkin anda tidak berani terus terang untuk berpikir, berbicara dan menuliskan bahwa agama merupakan bagian dari budaya. Kebudayaan adalah apa yg manusia lakukan dengan kehidupannya, termasuk penggunaan simbol-simbol material dan non material. Dan kebudayaan selalu berubah sesuai dengan perkembangan teknologi. Teknologi juga bagian dari kebudayaan manusia. Sebenarnya segala perubahan itu akan berjalan secara alamiah. Kalau sudah tidak cocok, maka tinggal dibuang dan diganti dengan yg lebih cocok. Tetapi untuk membuang agama membawa konflik karena ada orang-orang yg berkepentingan dengan agama yg akan dibuang itu. Yg berkepentingan namanya kelas ulama. Mereka akan kehilangan pengikut dan sumbangan.

Kalau ulama bisa berimajinasi dan khotbah tentang Allah, maka setiap manusia juga bisa. Dan itulah paradigma baru yg telah tiba saat ini. Paradigma post modern. Kita bisa bilang apa saja tentang Allah, dan itu termasuk HAM (Hak Asasi Manusia), namanya HAM Kebebasan Beragama dan HAM Kebebasan Berbicara. Merupakan HAM kita untuk berpendapat apa saja tentang Allah. Dan HAM yg kita miliki sama persis dengan HAM yg dimiliki oleh para ulama. Mereka bisa berpendapat tentang Allah, kita juga bisa. Ilmu pengetahuan juga bagian dari kebudayaan. Teknologi juga. Ada teknologi lama yg kita buang, dan teknologi baru yg kita pakai. Ada sistem kepercayaan lama yg kita buang karena dibuatnya ketika teknologi kita masih rendah. Dan ada sistem kepercayaan baru yg kita pakai sekarang ini karena teknologi kita sudah begitu maju. Menciptakan, memakai dan membuang sistem kepercayaan dan teknologi merupakan hal yg normal saja. Semuanya bergulir, berganti pada saatnya.

Monotheisme yg ketat diajarkan oleh Yudaisme, tetapi Yudaisme tidak bisa berkembang karena terlalu etno-sentris. Ke Eropa, Yudaisme berkembang dalam samarannya sebagai agama Kristen. Dan ini juga cuma bisa berhasil setelah Yudaisme dikawinkan dengan berbagai konsep kafir dan pemikiran filsafat dari Eropa. Ke Arabia dan Asia Selatan yg politheistik, Yudaisme berkembang dalam samarannya sebagai agama Islam. Ada pula wilayah remang-remang dimana terjadi sinthesis habis-habisan antara Yudaisme, Kristen dan Islam. Wilayah inilah yg sekarang kita kenal sebagai wilayah bulan sabit di Timur Tengah. Di wilayah itu, Kristen tetap ada dari dahulu sampai sekarang. Yudaisme juga tetap ada. Dan Islam yg datang paling akhir telah meng-inkorporasikan juga ajaran-ajaran kemanusiaan dari Yudaisme dan Kristen di wilayah ini. Islam di Timur Tengah merupakan hasil gabungan dari agama Yudaisme dan Kristen, yg ditambah dengan beberapa adat istiadat etnik Arab. Bukan turunan begitu saja, melainkan punya tambahan juga, yg diambil dari sumber lainnya.

Tradisi Judeo-Christian sekarang telah berkembang begitu pesat dalam berbagai samaran barunya lagi seperti Humanisme, Liberalisme, Marxisme, Sosialisme, Environmentalisme, Human Rights Movement, Feminisme, Agnostisme, Atheisme dan berbagai isme-isme post modern lainnya. Kalau diurutkan, semuanya berasal dari ide-ide Yahudi yg dibungkus dengan cara berpikir ala Yunani. Namanya tradisi Judeo-Christian. Kemungkinan besar istilah tradisi Judeo-Christian dikekalkan oleh kitab-kitab suci. Semua kitab suci Yahudi digunakan oleh Kristen. Islam susah dimasukkan karena menggunakan kitab suci yg berbeda. Walaupun rujukan kepada kitab-kitab Yahudi dan Kristen bisa ditemukan di dalam Al Quran, mereka tidak digunakan dengan alasan sudah dipalsukan. Disinyalir dipalsukan oleh Dajjal, mungkin.

Allah di dalam Yudaisme, Kristen dan Islam adalah Acynthia di dalam Hindu Bali, kata Joko Tingtong. Acynthia ini adalah yg tak terperikan. Tidak bisa didefinisikan. Ada karena memang ada. Yg bisa didefinisikan itu Dewi Saraswati, Dewa Ganesha, Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewi Durga. Dewa Dewi itu asma kalau dalam bahasa Arab, percikan sifat illahi. Sedangkan yg illahi itu sendiri tetap tidak bisa diuraikan. Tetap ada dan utuh walaupun manusia sudah menemukan berbagai macam manifestasinya yg disebut sebagai Dewa Dewi di dalam Hinduisme, atau sifat-sifat Allah di dalam Yudaisme dan Kristen, atau asma Allah di dalam Islam.
Dalam Taurat Musa dituliskan kisah ketika Musa bertanya kepada Allah: Siapakah namamu?  Dan Allah menjawab: Eheieh asher eheieh. Artinya: I shall become what Ishall become. Aku akan menjadi apa yg aku akan menjadi. Bisa juga diartikan: Iam what I am. Atau aku adalah aku.

Semuanya filsafat saja, bukan?

Allah punya sejarah. Sama seperti Acynthia dalam Hinduisme, dia ini ada karena dia ada. Setelah Allah ada berbagai nama yg semuanya merupakan uraian atau sifat. Di dalam Hinduisme, ini paralel dengan nama para Dewa Dewi.
Ada El Echad (Allah yg satu).

Ada El Shaddai (Allah yg utuh).

Ada El Hanne'eman (Allah yg setia).

Ada El Ernet (Allah yg benar).

Ada El Tsaddik (Allah yg adil).

Ada El Elyon (Allah yg maha tinggi).

Ada El Olam (Allah yg abadi).

Ada El Roi (Allah yg mengamati saya).

Ada El Yeshurun, El Gibbor, El De'ot, dll.
Allah itu Acynthia di dalam Hinduisme. Tidak terperikan. Tidak terdefinisikan. Dalam Buddhisme Theravada, Allah mungkin Nibbana. Sama, tidak terdefinisikan. Yg bisa terdefinisikan adalah konsep-konsep bawahannya seperti Trimurti dalam Hinduisme. Dalam Buddhisme, Nibbana tidak terdefinisikan, tetapi Sukawati (Surga) bisa. Kalau anda berbuat baik mengikuti syariat Buddhisme, maka anda akan masuk Sukawati. Tao di kepercayaan Cina tidak terdefinisikan, tetapi Li bisa. Li itu etiket, budi pekerti, dan diuraikan habis-habisan di dalam Confusianisme (ajaran Konghucu). Allah, Tao, Nibbana, dan Acynthia ini sama saja. Sesuatu yg tidak bisa diuraikan. Ada karena ada. Dan itu bukan agama. Kalau sudah jadi agama, maka ada syarat-syaratnya. Dan semua syarat itu dibuat oleh manusia.
Kita tidak tahu dari mana kita berasal. Sebelum lahir kita ada dimana? Kita tidak tahu. Setelah mati kita kemana? Kita juga tidak tahu. Yg kita tahu: kita ada karena kita ada. Saya ada karena saya ada. Itu saja. Dan itulah Allah. Ada karena ada. Yg ada karena ada bukan lah tubuh anda. Melainkan kesadaran anda. Anda sadar karena anda sadar. Anda sadar bahwa anda ada. Seingat anda, anda selalu sadar. Ada memory yg anda tidak ingat, tertelan di bawah sadar anda. Tetapi anda tahu, bahkan di saat itu anda tetap sadar.

Anda selalu sadar.

1 comment:

  1. mntap bg, membawa kita berpikir lebih jauh

    ReplyDelete